Rabu, Februari 20, 2008

Puisi Awal

Bersama-sama

Duduk - diam
Ngobrol bersama
Waktu berlalu
Si pemalas tinggal
Di lorong waktu yang gelap, pekat

Enggan bangkit
dari kasur kemalasan
yang empuk menggoda
bagai penjara
di lorong waktu

Ingin bangkit
tapi tlah tertinggal jauh
di perut lorong waktu

Kasur kemalasan
bagai kursi basah air mancur
muncrat rupiah sang pejabat

Sekali duduk
bagai terbius
Enggan bangkit
perut buncit penuh lembaran rupiah

Hanya satu kunci
yang musti dikuasai
Jangan - jangan
Sempat duduk
Tetaplah berdiri
Tetaplah berjuang!!!


Larut

Malam larut gelap pekat
Satu persatu mahluk terlelap dalam sunyi

Mengenang angan yang tak kesampaian
Siang tadi, mencipta mimpi baru
Tuk esok hari...
Supaya tak bosan hidup ini
Harus banyak bermimpi

Cita-cita bisa tinggi
Kerja keraslah jalan tangga kesana
Selangkah demi selangkah

Perlahan saja, jangan tergesa
Hayo perlahan saja kawan

Malam larut kembali
Tidurlah jangan sampai terganggu
Bermimpi dan bermimpi lagi

Kitalah empunya malam ini
Yang menyelimuti tidur kita
Menggapai mimpi yang tak dapat
Siang tadi

Sunyi dan makin sepi
Semua terlena
Tapi tidak pekerja malam
Mencari nafkah di waktu malam
Juga para kupu-kupu malam
Menebar aroma
Pembangkit nafsu
Yang tak mendapat cinta
Seutuhnya di rumah




Puncak Bukit

Kuberdiri di tepi jurang
pada bibir yang menganga
sepanjang jaman
Kupandangi sekelilingku haru
bercampur takjub

Sawah berair bening biru langit
semak belukar ramai hijau sunyi
Nyanyian burung pipit mengundang
kumasuk ke alam sunyi

Nun jauh disana
sebuah bukit berdiri kukuh
berselimut pohon hijau
menghalau embun yang dingin
tersenyum padaku

"Hai kau cinta padaku?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari caramu memandang tak berkedip

dan rona wajahmu bersemu merah penuh senyuman"
"Benar, di samping kau kuat berdiri, kulitmu biru indah"
Dan kau pun diam kembali

Dan tersenyum manja
dan bertambah indah dipandang mata
tak terasa kuberdiri di bibir jurang ini
Jangkrik-jangkrik bernyanyi suka ria
Hari t'lah tua, di ufuk barat langit penuh gumpalan emas
Dan kaki enggan melangkah pulang


Hariku

Hariku berlalu tanpa arti
Usia bertambah
Kulit mengeriput
Terpanggang panas terik mentari

Usia mudaku kian berlalu
beranjak tua tiada makna
Mimpi segudang telah sirna
yang menghias di masa muda

Hidup apa maknamu?
Kesengsaraan selalu mendera
menyiksa sisa hariku
Mencambukku sejak pagi bermula

Hariku kian menipis
dikikis tangis
Mengenang masa muda
yang tertunda

Kuberjalan tertatih
menempuh sisa hariku
Kadang kuterjatuh tersandung pedih
tubuh terbiasa kebal menghalau duka


Petani

Hari demi hari berlari
tiada '
kan pernah kembali
Menoleh pun tak sempat lagi
menelan sisa hari

Sang petani melangkahkan kaki
menuju ladang bakti
Memeras keringat sepanjang hari
sejak mentari memulai hari

Petani .. oh .. petani
Baktimu tiada tertandingi
memberi nasi petinggi negeri
yang tak perduli pada budimu yang tak berhenti

Tanah tempat berpijak
kau temani tanpa alas kaki
Walau panas terik melampaui
membakar tapak kaki

Sang petani ...
Menabur benih-benih budi
di ladang hati
memberi makan negeri ini

Medan, Agustus 2006

Sebatang Kara

Aku masih muda
Matahari pagi baru bangkit
cahyanya redup karna embun pagi menghalangi
Ayam tak kuat lagi berteriak
lepas dari taring musang terjerat

Malang demi malang datang menghadang
langkah kaki timpang terseok
Darah muda tumpah terlalu banyak
hingga kulit muda keriput

Di saat kubelajar kuat disana kuterhempas
Tenaga bertambah raga melemah
Nasib malang datang bersua
bagai tamu tak diundang ke pesta

Luka lama mau sembuh
Luka baru menganga di ruas yang sama
Sakit berlipat datang merengkuh
Semangat, harapan hampir sirna

Kemana ku kan mengadu?
"Setahun lalu ibu ditangkap polisi
Adikku pergi ke liang lahat
Kini ayahku buron tertangkap"

Kini aku tinggal sendiri
berteman sepi

Medan Agustus 2006


Sepi

Sunyi sepi
Terasa di kamar ini sendiri
Dingin malam menusuk pori-pori
Menyalakan rasa rindu di hati

Malam merangkak menuju larut peraduan
Jauh melewati batas kelam
Mata meronta tak terpejam
Meratapi hati sepi tiada henti

Diri sendiri memancing rasa sepi
'Tuk temani hati di malam sunyi
Jam dinding berdetak makin kuat
S'bagai umpan di ujung kail menjerat

Malam tiada peduli pada hati yang sepi
Merangkak cuek tanpa berpaling
Memandang lurus ke raut pagi
Walau kan hilang sinar mentari menghadang

Sepi bergelut, menggantung
Pada hati yang sendiri
Mengajar diri mencari arti
Mengapa hidup diberi


Medan, Agustus 2006

Pagi

Perlahan gelap malam tersibak
Berubah terang cemerlang
jauh dari sudut timur
Pertanda hari telah bermula

Bola mata mula berkedip
mengerjap lalu terbelalak
Sejak cahaya meraja
mengalahkan gelap malam kelam
Senyum mulai menghias wajah-wajah

Semua mahkluk terbangun
bangkit kembali
Merengkuh mimpi yang tertunda
Sejak hari bermula
Cahya mentari meraja

Kicauan burung-burung, gonggongan anjing
teriakan ayam jantan, siulan mulut-mulut
kembali terdengar
Mencoba memberi warna
pada hari yang hilang semalam

Pagi telah tiba
Mari rayakan dengan gembira
dengan semangat baru kerja


Agustus 2006




Tanah

Tanah warisan nenek moyang
Memberi makan sejak zaman bermula
Tiada pernah lupa sepanjang zaman
Memberi makan 70 X 70 X 70 keturunan

Tanah diolah dan ditanam
Walau hama mengancam tetap menghasilkan
Memberi makan perut-perut yang lapar
Mengisi lumbung hingga melimpah

Tanah subur terus bertelur
Apa saja ditanam selalu tumbuh
Yang rajin pasti berkelimpahan
Karna tanah murah hati selalu memberikan

Aku makan, sekolah sampai sarjana
karna kemurahan tanah
yang menumbuhkan tanaman yang melimpah
bagi orang tua yang rajin berbenah

Tanah berminyak
warisan nenek moyang
Ciptaan yang Maha Kuasa
pemberi hidup tunas-tunas muda
tuk melanglang buana ke penjuru dunia

Medan Agustus 2006



Mengadu

Dua tahun yang lalu
kupergi merantau
mencari untung mengadu nasib
di dalam keutuhan

Di perantauan apa pun kukerjakan
asalkan dapat makan dan tempat perlindungan
sakit dan pedih kutahankan
ku hanya kembali pulang dengan keberhasilan

Ketika nasib mulai berbunga
senyuman mulai tumbuh pada wajah yang gersang
gambaran kampung halaman timbul membayang
menambah semangat meraup untung
'tuk kelak kubawa pulang

Genap sudah dua tahun ku di perantauan
tiada keinginan pulang jika hasil belum di tangan
tetapi longceng panggilan berdentang
mengejutkan darahku yang mulai tenang
memaksaku 'tuk kembali pulang

"Cepat pulang adikmu sakit keras"
nada panggilan tergiang dalam perjalanan pulang
dalam sehari semalam ku sampai di kampung halaman

Orang-orang berkerumun
suasana mendung tampak menghias wajah-wajah tua yang kukenal
kuhampiri mereka, tangis makin menghimpit
nafasku dalam keterkejutan

"Adikmu telah pergi semalam"
kudekati tubuhnya yang kaku
ia telah berada dalam ketenangan yang beku
kuletakkan telapak tanganku pada wajah yang dingin
memberi salam perpisahan

"Tabahkan hatimu nak
ibumu dipenjara, ayahmu buronan"
Hancur sudah segala yang pernah kugenggam
pecah sudah bahtera dihantam ombak
ku hanya mengapung pada sebatang kayu tua
dan terombang ambing di lautan luas
nyaris tenggelam

Semua menghitam kelam
ditelan kegelapan malam
tiada berkas sinar kugenggam
tiada tempat bagiku mengadu
segalanya telah hilang




SEPIKU

Resahku tumbuh bertunaskan sepi
resah bagai kabut tipis
timbul tenggelam berlaras luapan emosi

Sendiri ku di perpustakaan ini
buku-buku menatap dan
membacaku jauh ke lubuk hati


Lihat buku-buku itu!
tersenyum setelah tahu manusia macam apa diriku
geli melihatku sepi di gudang bekal hidup ini

Mereka menolak untuk kubaca
"kami sedang membacamu!"
terpaksa aku diam bagai duduk dikursi pesakitan
kau pembual!
kau sombong!
kau pengecut!
mereka memvonisku tanpa ampun
tapi
"tapi kau mau belajar tuk memperbaiki diri"

Medan, 18 Juli 2006


Perang

Perang!
pekik mereka
anak, istri, sanak
sirna

Perang!
makin keras teriak mereka
rumah, bekal
raib
tinggal puing berserakan
dan mayat membusuk
inikah dunia indah itu?
atau inikah neraka sesungguhnya?

perang!
dendam
balas
sengsara



Air Mata

Air mataku belum kering
dan aku belum sempat berdiri
dan memandang cahya mentari yang hangat itu
aku terhuyung ditopang
kedua kakiku yang rapuh
diterjang prahara tiada berujung
air mata deras dipancing air bah
yang menyapu kampung halamanku
menjemput istri, anak, dan cucuku
mengapa aku kau sisakan?
tak selera dengan tulang keriputku?
atau kau ingin menyiksaku?
apa jawabanmu? Diam

Kusepi sendiri dengan air mataku belum kering
tidur beralas tanah, berselimut angin, beratap langit
Tuhan tataplah diriku!