Bersama-sama
Ngobrol bersama
Waktu berlalu
Si pemalas tinggal
Di lorong waktu yang gelap, pekat
Enggan bangkit
dari kasur kemalasan
yang empuk menggoda
bagai penjara
di lorong waktu
Ingin bangkit
tapi tlah tertinggal jauh
di perut lorong waktu
Kasur kemalasan
bagai kursi basah air mancur
muncrat rupiah sang pejabat
Sekali duduk
bagai terbius
Enggan bangkit
perut buncit penuh lembaran rupiah
Hanya satu kunci
yang musti dikuasai
Jangan - jangan
Sempat duduk
Tetaplah berdiri
Tetaplah berjuang!!!
Larut
Satu persatu mahluk terlelap dalam sunyi
Mengenang angan yang tak kesampaian
Siang tadi, mencipta mimpi baru
Tuk esok hari...
Supaya tak bosan hidup ini
Harus banyak bermimpi
Cita-cita bisa tinggi
Kerja keraslah jalan tangga kesana
Selangkah demi selangkah
Perlahan saja, jangan tergesa
Hayo perlahan saja kawan
Malam larut kembali
Tidurlah jangan sampai terganggu
Bermimpi dan bermimpi lagi
Kitalah empunya malam ini
Yang menyelimuti tidur kita
Menggapai mimpi yang tak dapat
Siang tadi
Sunyi dan makin sepi
Semua terlena
Tapi tidak pekerja malam
Mencari nafkah di waktu malam
Juga para kupu-kupu malam
Menebar aroma
Pembangkit nafsu
Yang tak mendapat cinta
Seutuhnya di rumah
Puncak Bukit
pada bibir yang menganga
sepanjang jaman
Kupandangi sekelilingku haru
bercampur takjub
Sawah berair bening biru langit
semak belukar ramai hijau sunyi
Nyanyian burung pipit mengundang
kumasuk ke alam sunyi
Nun jauh disana
sebuah bukit berdiri kukuh
berselimut pohon hijau
menghalau embun yang dingin
tersenyum padaku
"Hai kau cinta padaku?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari caramu memandang tak berkedip
dan rona wajahmu bersemu merah penuh senyuman"
"Benar, di samping kau kuat berdiri, kulitmu biru indah"
Dan kau pun diam kembali
Dan tersenyum manja
dan bertambah indah dipandang mata
tak terasa kuberdiri di bibir jurang ini
Jangkrik-jangkrik bernyanyi suka ria
Hari t'lah tua, di ufuk barat langit penuh gumpalan emas
Dan kaki enggan melangkah pulang
Hariku
Usia bertambah
Kulit mengeriput
Terpanggang panas terik mentari
Usia mudaku kian berlalu
beranjak tua tiada makna
Mimpi segudang telah sirna
yang menghias di masa muda
Hidup apa maknamu?
Kesengsaraan selalu mendera
menyiksa sisa hariku
Mencambukku sejak pagi bermula
Hariku kian menipis
dikikis tangis
Mengenang masa muda
yang tertunda
Kuberjalan tertatih
menempuh sisa hariku
Kadang kuterjatuh tersandung pedih
tubuh terbiasa kebal menghalau duka
Petani
tiada '
Menoleh pun tak sempat lagi
menelan sisa hari
Sang petani melangkahkan kaki
menuju ladang bakti
Memeras keringat sepanjang hari
sejak mentari memulai hari
Petani .. oh .. petani
Baktimu tiada tertandingi
memberi nasi petinggi negeri
yang tak perduli pada budimu yang tak berhenti
Tanah tempat berpijak
kau temani tanpa alas kaki
Walau panas terik melampaui
membakar tapak kaki
Sang petani ...
Menabur benih-benih budi
di ladang hati
memberi makan negeri ini
Sebatang Kara
Matahari pagi baru bangkit
cahyanya redup karna embun pagi menghalangi
Ayam tak kuat lagi berteriak
lepas dari taring musang terjerat
Malang demi malang datang menghadang
langkah kaki timpang terseok
Darah muda tumpah terlalu banyak
hingga kulit muda keriput
Di saat kubelajar kuat disana kuterhempas
Tenaga bertambah raga melemah
Nasib malang datang bersua
bagai tamu tak diundang ke pesta
Luka lama mau sembuh
Luka baru menganga di ruas yang sama
Sakit berlipat datang merengkuh
Semangat, harapan hampir sirna
Kemana ku kan mengadu?
"Setahun lalu ibu ditangkap polisi
Adikku pergi ke liang lahat
Kini ayahku buron tertangkap"
Kini aku tinggal sendiri
berteman sepi
Medan Agustus 2006
Sepi
Terasa di kamar ini sendiri
Dingin malam menusuk pori-pori
Menyalakan rasa rindu di hati
Malam merangkak menuju larut peraduan
Jauh melewati batas kelam
Mata meronta tak terpejam
Meratapi hati sepi tiada henti
Diri sendiri memancing rasa sepi
'Tuk temani hati di malam sunyi
Jam dinding berdetak makin kuat
S'bagai umpan di ujung kail menjerat
Malam tiada peduli pada hati yang sepi
Merangkak cuek tanpa berpaling
Memandang lurus ke raut pagi
Walau kan hilang sinar mentari menghadang
Sepi bergelut, menggantung
Pada hati yang sendiri
Mengajar diri mencari arti
Mengapa hidup diberi
Pagi
Berubah terang cemerlang
jauh dari sudut timur
Pertanda hari telah bermula
Bola mata mula berkedip
mengerjap lalu terbelalak
Sejak cahaya meraja
mengalahkan gelap malam kelam
Senyum mulai menghias wajah-wajah
Semua mahkluk terbangun
bangkit kembali
Merengkuh mimpi yang tertunda
Sejak hari bermula
Cahya mentari meraja
Kicauan burung-burung, gonggongan anjing
teriakan ayam jantan, siulan mulut-mulut
kembali terdengar
Mencoba memberi warna
pada hari yang hilang semalam
Pagi telah tiba
Mari rayakan dengan gembira
dengan semangat baru kerja
Agustus 2006
Tanah
Memberi makan sejak zaman bermula
Tiada pernah lupa sepanjang zaman
Memberi makan 70 X 70 X 70 keturunan
Tanah diolah dan ditanam
Walau hama mengancam tetap menghasilkan
Memberi makan perut-perut yang lapar
Mengisi lumbung hingga melimpah
Tanah subur terus bertelur
Apa saja ditanam selalu tumbuh
Yang rajin pasti berkelimpahan
Karna tanah murah hati selalu memberikan
Aku makan, sekolah sampai sarjana
karna kemurahan tanah
yang menumbuhkan tanaman yang melimpah
bagi orang tua yang rajin berbenah
Tanah berminyak
warisan nenek moyang
Ciptaan yang Maha Kuasa
pemberi hidup tunas-tunas muda
tuk melanglang buana ke penjuru dunia
Medan Agustus 2006
Mengadu
kupergi merantau
mencari untung mengadu nasib
di dalam keutuhan
Di perantauan apa pun kukerjakan
asalkan dapat makan dan tempat perlindungan
sakit dan pedih kutahankan
ku hanya kembali pulang dengan keberhasilan
Ketika nasib mulai berbunga
senyuman mulai tumbuh pada wajah yang gersang
gambaran kampung halaman timbul membayang
menambah semangat meraup untung
'tuk kelak kubawa pulang
Genap sudah dua tahun ku di perantauan
tiada keinginan pulang jika hasil belum di tangan
tetapi longceng panggilan berdentang
mengejutkan darahku yang mulai tenang
memaksaku 'tuk kembali pulang
"Cepat pulang adikmu sakit keras"
nada panggilan tergiang dalam perjalanan pulang
dalam sehari semalam ku sampai di kampung halaman
Orang-orang berkerumun
suasana mendung tampak menghias wajah-wajah tua yang kukenal
kuhampiri mereka, tangis makin menghimpit
nafasku dalam keterkejutan
"Adikmu telah pergi semalam"
kudekati tubuhnya yang kaku
ia telah berada dalam ketenangan yang beku
kuletakkan telapak tanganku pada wajah yang dingin
memberi salam perpisahan
"Tabahkan hatimu nak
ibumu dipenjara, ayahmu buronan"
Hancur sudah segala yang pernah kugenggam
pecah sudah bahtera dihantam ombak
ku hanya mengapung pada sebatang kayu tua
dan terombang ambing di lautan luas
nyaris tenggelam
Semua menghitam kelam
ditelan kegelapan malam
tiada berkas sinar kugenggam
tiada tempat bagiku mengadu
segalanya telah hilang
SEPIKU
resah bagai kabut tipis
timbul tenggelam berlaras luapan emosi
Sendiri ku di perpustakaan ini
buku-buku menatap dan
membacaku jauh ke lubuk hati
Lihat buku-buku itu!
tersenyum setelah tahu manusia macam apa diriku
geli melihatku sepi di gudang bekal hidup ini
Mereka menolak untuk kubaca
"kami sedang membacamu!"
terpaksa aku diam bagai duduk dikursi pesakitan
kau pembual!
kau sombong!
kau pengecut!
mereka memvonisku tanpa ampun
tapi
"tapi kau mau belajar tuk memperbaiki diri"
Perang
Perang!
pekik mereka
anak, istri, sanak
sirna
Perang!
makin keras teriak mereka
rumah, bekal
raib
tinggal puing berserakan
dan mayat membusuk
inikah dunia indah itu?
atau inikah neraka sesungguhnya?
perang!
dendam
balas
sengsara
Air Mata
Air mataku belum kering
dan aku belum sempat berdiri
dan memandang cahya mentari yang hangat itu
aku terhuyung ditopang
kedua kakiku yang rapuh
diterjang prahara tiada berujung
air mata deras dipancing air bah
yang menyapu kampung halamanku
menjemput istri, anak, dan cucuku
mengapa aku kau sisakan?
tak selera dengan tulang keriputku?
atau kau ingin menyiksaku?
apa jawabanmu? Diam
Kusepi sendiri dengan air mataku belum kering
tidur beralas tanah, berselimut angin, beratap langit
Tuhan tataplah diriku!