Jumat, April 18, 2008

Penipu

PENIPU

By. Sondang Malau

Anak kos tetap ramai di gang yang letaknya tak jauh dari sebuah universitas yang mahasiswanya tak pernah sepi. Kakek Senyo suka bersahabat dengan para mahasiswa itu. Ia berjualan di kios kecilnya di gang, tepat di depan rumah kos para mahasiswa itu. Anak-anak kos sering belanja disana karna dekat dan barang-barangnya tidak mahal. Itulah sebabnya hubungan Kakek dengan para mahasiswa itu semakin erat.

Kakek Senyo sudah kenal lama dengan Jengkol, seorang mahasiswa yang kos di depan rumahnya. Pemuda itu suka meluangkan waktunya bersama Kakek Senyo karna ia seorang pendengar cerita yang baik. Ia selalu tertarik mendengarkan kisah-kisah kakek Senyo yang suka mengisahkan pengalamannya di jaman Belanda dulu. Hubungan mereka semakin kuat antara seorang pencerita dan pendengar, saling mengisi satu sama lain.

“Rokoknya sebatang dulu kek!...trus sewaktu kakek kerja sebagai pembantu orang Belanda, apa teman-teman kakek orang Indonesia yang berjuang melawan Belanda tak membenci kakek?” Pancing Jengkol untuk membangkitkan semangat Kakek Senyo bercerita.

Begitulah cara Jengkol minta rokok sebatang demi sebatang sewaktu mereka bercerita. Kakek tua itu cepat-cepat mengambil sebatang rokok lalu menyerahkannya pada jengkol dan ia semakin bersemangat menceritakan masa lalunya.

“Oh tidak, karna aku hanya pekerja biasa di kebun majikanku. Dan aku kan tidak ikut membantu orang Belanda berperang, jadi teman-teman setanah air tak terlalu memperdulikanku. Mungkin juga mereka sedikit curiga pada kakek.”

“Trus bagaimana lagi kelanjutannya kek?” pancing Jengkol antusias, membuat Kakek itu tetap betah. Sewaktu kakek melanjutkan kisahnya kembali, Jengkol mendengarnya dengan penuh perhatian sambil menikmati asap rokoknya.

“Kek minta dua batang lagi rokoknya, ngutang dulu ya kek, maklum kek masih anak kos. Tolong dibuatkan bonnya biar tak lupa nanti ya kek!”

“Ya…beres,” kakek itu menyetujuinya dengan senang hati merasa puas masih ada orang yang mau mendengarkan kisah hidupnya di masa mudanya dulu sementara anak cucunya tidak mau lagi mendengarkan kisah-kisahnya, mungkin mereka bosan mendengar cerita yang berulang-ulang. Lain halnya dengan Jengkol yang selalu antusias dan bisa tertawa mendengarkan kisahnya kalau ada yang lucu.

Seperti itulah Kakek Senyo dan Jengkol melewati hari-harinya. Rokok batang demi batang jadi abu dan asap setiap kali mereka bercerita dan bonnya terus bertambah. Kakek Senyo tetap asyik bercerita sampai lupa segalanya. Lupa akan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

Diluar perkiraan kakek Senyo, tanpa aba-aba sebelumnya Jengkol pergi tanpa melunasi utang-utangnya yang tidak sedikit. Ia terpelongo tak bisa berbuat apa-apa lagi.

* * *

Empat tahun berlalu tanpa terasa. Anak-anak penghuni rumah kos selalu berganti. Mahasiswa lama sudah tamat wisuda dan mahasiswa baru datang mengisi rumah kos yang mereka tinggalkan. Kakek Senyo tidak berubah, ia selalu akrab dengan para mahasiswa itu walau ia pernah ditipu oleh salah seorang dari mereka. Ia tidak mau larut dalam kesedihan walau ia sadar bahwa ia terlalu mempercayai pemuda itu.

Di gang itu, hampir semua mahasiswa lama maupun baru mengenal Kakek Senyo yang suka menyapa mereka ketika mereka lewat dari depan kiosnya hendak berangkat ke kampus dan mereka juga suka berbelanja di kios kecil kakek yang selalu suka menegur mereka dan selalu suka tersenyum. Anak-anak kos yang baru cepat akrab dengan Kakek Senyo karena keramahannya.

Sore itu Kakek Senyo sedang bercerita-cerita dengan Paul, anak kos baru yang juga mahasiswa baru. Paul juga punya minat mendengar kisah masa lalunya.

“Dulu kakek masih ingat sekitar tahun 80-an, kemana-mana kakek selalu naik sepeda di kota Medan ini. Waktu itu penduduk kota ini belum seramai sekarang. Kakek masih ingat bagaimana kakek harus bersepeda membawa beberapa tandan pisang ke pasar yang lumayan jauh dari ladang.”

“Kakek pasti kecapean dan waktu itu pasti kakek masih kuat, benar kan kek?”

Lha ia, siapa dulu dong. Tau gak Paul, dulu kakek tampan lho. Kau nggak percaya? Buktinya kakek sudah tiga kali kawin, laris…”

“Maksud kakek sudah tiga kali nikah?”

“Ya.”

“Ah yang benar saja kek, masa?”

“Ya! Istriku yang sekarang ini adalah istri yang ketiga dan…”

“Hebat benar kakek. Istri kakek yang dulu dikemanain kek?”

Lama Kakek Senyo tidak manjawabnya hingga membuat Paul heran. Ternyata Kakek Senyo sedang memperhatikan seorang pemuda yang sedang berjalan ke arah mereka.

“Sepertinya aku mengenalnya…”guman kakek tidak sadar seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia memandanginya tanpa berkedip untuk meyakinkan dirinya akan pemuda itu. Paul mengikuti arah pandangan mata kakek, ia tak bisa menduga apa gerangan yang Kakek Senyo pikirkan tentang orang asing itu.

“Halo kakek! Sudah lama tak bersua!” kata pemuda asing itu menyapa dengan akrab sambil mengulurkan tangannya.

“Jengkol Ooo..darimana saja kau selama ini? Tak kusangka kau kembali lagi ck, ck, ck, tak kusangka.” Kakek Senyo tersenyum sambil menyambut uluran tangan itu.

“Biasalah kek, merantau cari kerja. Namanya hidup kek tak pernah berhenti, terus mengalir seperti air,” kata-katanya mengalir lancar juga seperti air.

“Ah Jengkol makin pintar aja berkata-kata. Pasti kau udah dapat kerja yang bagus ya?” tanya kakek begitu bersemangat.

“Gonta-ganti kerja kek, tak betah apalagi di Jawa. Aku masih dalam tahap menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu. Aku tak biasa hidup di kota Jakarta yang keras, benar-benar sulit disana kek. Aku hanya betah dua sampai tiga bulan kerja, lalu cari kerja lain lagi. Kadang menganggur lama karena begitu susahnya mencari kerja yang baru. Lagi bosan kerja, aku kembali pulang kampung halaman untuk refreshing. Dan saat di kampung aku ingat kakek, aku rindu pada kakek makanya aku datang, mengenang masa lalu…”

Kakek Senyo seolah terbius mendengar sekelumit pengalaman Jengkol sampai ia hampir lupa tentang keberadaan Paul.

“Oh kenalan dulu kalian!” seru kakek tersadar akan keberadaan Paul.

“Paul.”

“Jengkol! Masih kuliah kau Paul?”

“Masih bang.”

“Fakultas dan stambuk?”

“Sastra, dua ribu. Abang uda tamat?”

Udah tahun sembilan enam yang lewat, fakultas ekonomi.”

“Asalnya darimana bang?”

“Samosir, kau?”

“Sarobudolok, bang.”

“Kakek, rokoknya dua batang!”

“Sebentar yah!”

Jengkol menyodorkan sebatang rokok yang baru diterimanya pada Paul dan yang sebatang lagi diselipkan di antara bibirnya sendiri. Wajah kakek tua itu terasa segar kembali, ada suatu rasa bahagia yang menyusupi hatinya, mungkin karena ia ingat akan keakraban mereka dulu.

“Seterusnya gimana pengalamanmu Jengkol?” kakek Senyo bertanya lagi tanpa mengulur waktu.

* * *

Kakek Senyo merasa senang setelah ia tahu bahwa Jengkol tinggal disana untuk beberapa minggu. Jengkol minta ijin pada Paul untuk sementara waktu menginap di kamarnya bersama. Pucuk dicinta wulanpun tiba. Kakek Senyo yakin bahwa Jengkol akan melunasi utang-utangnya dan ia juga yakin bahwa Jengkol datang untuk membayarnya.

Ia mengulang masa nostalgianya dulu bersama Jengkol. Dan rokok demi rokok kembali lenyap jadi abu tanpa bayar setiap kali mereka bertemu. Kakek Senyo tenang-tenang saja, ia kembali membuat daftar bon Jengkol yang baru. Ia percaya pada Jengkol tidak mungkin menipunya kembali.

Setiap hari mereka berdua asyik bercerita sebagai dua orang sahabat lama. Kakek Senyo menemukan kembali masa lalunya yang menyenangkan. Ia berpuas diri bercerita dengan seorang pendengar setianya.

Namun Kakek Senyo mulai sedikit curiga pada tingkah Jengkol yang terasa janggal. Dua hari berturut-turut ia melihat Jengkol duduk sendirian melamum di bawah terik matahari sambil merokok. Tapi Kakek Senyo tidak telalu menghiraukannya.

* * *

Sejak pagi Kakek Senyo tak melihat Jengkol sehingga ia mulai takut jangan-jangan anak itu telah menipunya untuk yang kedua kalinya. Ia bertanya-tanya dalam hati dimana gerangan sahabatnya itu berada. Tetapi sampai sore ia tak menemukannya muncul di teras rumah kos depan rumahnya. Kecurigaannya semakin menjadi jadi.

Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Kakek Senyo yang sedang larut dalam lamunannya.

Helo kek sedang ngapain, kok ngantuk-ngantuk begitu?”

“Eh Paul, biasa duduk-duduk tak ada kerjaan. Mau beli apa kau Ul?”

“Sabun telepon sebatang kek dan gula seperempat kek.”

“Paul, dimana Jengkol kok nggak kelihatan hari ini. Apa dia tak tidur di kamarmu semalam?”

Nggak kek. Entah kemana perginya aku tak tahu kek. Emangnya kenapa kek?” tanya Paul Heran melihat wajah Kakek Senyo yang berobah murung.

“Hah… aku ditipunya lagi Paul!”

“Ditipu gimana maksud kakek?”

Lama kakek tidak menyahut lalu dengan menarik nafas panjang ia mengisahkan pengalaman barunya tidak lagi kisah tentang sejarah kolonialisme di Indonesia.

“Hah ceritanya panjang Paul. Empat tahun lalu, ketika ia masih mahasiswa, ia menipuku. Ia pergi diam-diam tanpa membayar utang-utangnya. Salahku juga membiarkannya ngutang rokok terus-terusan waktu itu. Aku percaya padanya karena ia kan mahasiswa, berpendidikan, tak mungkin ia menipu orang tua yang sudah bau tanah dan tak berpendidikan ini. Nyatanya kepercayaanku disalahgunakan olehnya, memalukan!

Ia memang minta rokok hanya sebatang demi sebatang terus-terusan sepanjang tahun, utangnya makin menumpuk dan ia tiba-tiba pergi begitu saja…” Kakek Senyo berhenti seolah menghimpun kembali kekuatannya,”…sewaktu kita ngomong-ngomong kemarin, Jengkol tiba-tiba muncul. Aku yakin bahwa ia datang untuk membayar utang-utangnya. Aku senang melihatnya kembali, apalagi aku bisa bercerita lagi seperti dulu dengannya. Aku kembali menaruh kepercayaan padanya dan terlena akan semangatnya mendengar cerita-ceritaku. Dan ia ngutang lagi, aku ladeni tanpa curiga. Memang belakangan ini aku udah curiga, barangkali otaknya sudah miring. Bayangkan Paul! Ia duduk-duduk di panas matahari termenung sambil merokok. Dan sekarang tiba-tiba ia lenyap seperti hantu. Aku terlambat. Kurang ajar anak itu, percuma udah sarjana!” Kakek Senyo geram sambil mengepalkan tinjunya.

“Mungkin ia sudah sinting kek, selama ia tinggal di kamarku aja bajunya tak pernah diganti. Sejak datang sampai perginya bajunya itu-itu saja hampir seminggu ini.”

Udahlah Paul, semuanya sudah terjadi tak perlu disesali lagi. Semoga Tuhan mengampuninya. Apa tadi yang mau kau beli Paul?”

“Sabun sebatang dan gula seperempat kek.”

“Nih, tiga ribu aja!”

Paul menyodorkan uang kertas lima ribuan. Kakek Senyo menerima dan menukarnya.

“Terimakasih kek,” katanya setelah menerima uang kembaliannya.

“Sama-sama,” balas kakek Senyo mulai tersenyum kembali. Diam-diam Paul merasa kasihan pada pada kakek tua itu.

* * * *

Tanjung Sari, 12 Desember 2005

Sebuah Mimpi

Sebuah Mimpi

By Sondang B. Malau

Douka bangkit, bukan dari kubur tapi dari tidur. Terusik oleh ketokan di pintu kamarnya bahkan sesekali berupa gebrakan. Ia tahu siapa itu karna sambil menggebrak, dia juga berteriak.
"Bang...bang...bangun!!! Kuliah!!!
Kuliah kata terakhirlah yang membuatnya terpaksa bangkit dari tidurnya. Kuliah masuk pagi, yang selalu dibencinya barangkali karna ia tidak bisa melanjutkan hobbynya, berlama-lama tidur biar sering tanpa sarapan. Asalkan ia bisa tidur berlama-lama.
Ia bangkit dengan begitu malas, matanya dikucek-kucek, digosok-gosok sampai kekaburan sedikit demi sedikit melenyap dari matanya yang memerah. Ia gerak-gerakkan badannya seperti gerakan senam, mencoba menghalau kemalasan. Gerakan asal-asalan, pukul kiri dan kanan, tendang kiri dan kanan, melotot kiri dan kanan ditambah lagi dengan gerakan badan ke atas dan ke bawah, mirip seorang pesilat yang lagi mabuk mulas masuk angin.
Douka membuka pintu dengan gerakan kilat, mencoba kecekatannya dan menyentakkan pintu kamarnya. Rupanya gebrakan sudah keburu dilontarkan tepat mengenai hidung Douka.
"Wadoh... apa-apaan ini main tonjok-tonjok segala," bentaknya seperti pahlawan yang terluka.
"Maaf, maaf... tak sengaja,"
"Tak sengaja bagaimana tonjokan yang begitu akurat dibilang tak sengaja, nih biar tahu rasa." sambil melancarkan serangan balasan.
"Ampun bang, ampun, aduh tante genit pencubit."
"Ade ape bangune gue he..he.?"
"Sok soke jawe loe..."
"Idih ngeledek malah ikut-ikutan, awas pinggir eh minggir aku mau mandi nanti terlambat," handuk disambar elang eh Douka yang bertampang elang menyambar handuknya.
"Cepat bang nanti abang dipotong."
"Dipotong? Apa ada penjagal begis di kos ini?"
"Dipotong mau ke kamar mandi goblok!"
"Dipotong mau ke kamar mandi, dipotong di-pot-ong, ong-pot-di, ongpotdi apaan di dahului maksudmu yah benar - salah?"
"Benar tapi salah, salah karna waktu sudah habis dan abang belum melakukan apa-apa. Dipotong eh didahului tahu rasa abang."
Douka tak mengubrisnya lagi. Ia langsung berlari ke kamar mandi. Pada saat pintu kamar mandi di dorongnya. Seorang mahluk lain muncul tiba-tiba.
"Bang Douka! Bentarlah bang, aku duluan mau cuci muka aja plis, plis deh aku udah terlambat nih."
"Sudah gak usah plis-plisan lah, aku tak takut ama polisi."
Mahluk gendut itu masuk kamar mandi dan air mulai kedebur-kedebur seperti air terjun. Douka bersandar di dinding kamar mandi, menunggu dan menunggu ketika satu mahluk lain muncul, mahluk yang lebih gendut lagi.
"Helo bang Douka!!! Bang aku duluan ya!!"
"Duluan! Tidak-tidak aku mau cepat juga!!"
"Tolonglah bang perutku mules, melilit-lilit, masuk angin, perut kembung en sesak beol, komplikasi, sabarlah abang ya," katanya dengan mimik kekanak-kanakan yang tidak mungkin lagi Douka tolak. Begitu mahluk yang satunya keluar, si gendut masuk dengan senyum penuh kemenangan.
Douka mengalah dan menunggu, menunggu yang selalu dibencinya sambil bersandar kembali di dinding kamar mandi. Menunggu si gendut yang komplikasi. Komplikasi apaan pikirnya. Ia merasa sudah terlalu lama menunggu, ia makin resah, dinding rumah seakan mengejeknya, mengejek kebaikannya. Ia mulai resah karna si gendut yang di kamar mandi tidak berkutik lagi setelah ia mendengar bunyi gedebuk yang lumayan keras. Douka menggedor-gedor pintu kamar mandi seperti kesetanan, mencoba menghentikan datangnya maut.
"Bona!!! Bona!!!" panggilnya sekuat tenaga berkali-kali. Tidak ada jawaban. Teman-teman sekosnya yang lain terbangun mendengar gebrakan dan teriakan Douka.
Ada nada keputusaasaan di dalam teriakan itu.
"
Ada apa Douka?"
"
Ada apa bang?"
"Cepat gebrak pintu! Bona jatuh di kamar mandi, mungkin ia sudah ma-ti!"
Semua jadi tegang bahkan dinding yang tadinya mengejek juga ikut tegang. Beberapa cewek histeris melihat kemungkinan yang bisa terjadi, kematian yang mereka takutkan. Douka bersama teman-temannya yang cowok mengerahkan tenaga bersama menggebrak pintu bersama-sama.
"Hayo satu - dua -..."
"Brak krek!!!" Pintu terbuka. Bona tergeletak tak sadarkan diri di lantai yang basah. Mati. Cewek-cewek berhamburan berlari-lari berputar-putar di rumah kos itu, sebagian melihat kondisi Bona. Mereka semua menangis, Douka terpukul, merasa bersalah andaikan ia tidak terlalu baik pada cewek itu, mungkin maut itu bisa dicegahnya. Douka resah, putus asa dihantui perasaannya.
"Aku tidak bersalah!!!" teriaknya sambil menjambak rambutnya.
"Kenapa abang, maaf ya aku terlalu lama tadi." Bona keluar dari kamar mandi.
Douka terbelalak melihat tubuh itu. Ia tersadar di sekelilingnya tiada cewek yang menangis, bahkan sebahagian besar teman sekosnya masih tidur. Tidak ada jeritan kematian. Ia seakan kembali pada wujudnya semula jauh dari teror rasa bersalah.
"Kukirain hantu," bisiknya pada diri sendiri melihat Bona tidak apa-apa. Ia segar bugar.
Douka mandi, mengguyur tubuhnya dengan air sebanyak-banyaknya, menetralkan kembali pikirannya yang sempat terluka dari mimpi, mimpi yang mengerikan itu. Ia bahagia tidak terjadi apa-apa, ia mandi dengan santai menikmati kebahagiaannya. Deg... jantungnya kembali berkecamuk setelah tersadar bahwa ia akan terlambat. Ia mandi cepat-cepat seperti burung mandi menyambar air, mandi kilat.
Benar saja saat ia tiba di pintu kelasnya, pintu itu tertutup rapat. Dosennya mengajar dengan serius, dosen killer yang terkenal itu. Keberaniannya hilang seketika, keberaniannya jadi 0 % sedangkan ketakutannya 100 %. Ia merapal doa-doa yang diingatnya, asal-asalan. Ia mengetok pintu, perlahan hampir tidak kedengaran. Pintu terbuka dan monster itu berdiri angkuh dengan mata elangnya yang membuat keberanian Douka turun ke angka minus.
"Maaf saudara mengganggu ketenangan kami dan membuyarkan konsentrasi yang lain yang dari tadi sudah tidak mampu berkonsentrasi. Kalau saudara kupersilahkan masuk, nanti kelakuan saudara ditiru oleh yang lain-lain berarti saudara menyesatkan. Sudah begitu banyak anak bangsa ini yang tersesat. Saya tidak mau angka itu ditambah lagi. Saya mau menobatkan saudara dan bangsa ini. Datanglah minggu depan."
Pintu terkunci kembali seperti semula seakan ia belum mengetok pintu itu dan suara dosen itu sama seperti sebelumnya, tiada yang berubah.
"Mimpi kurang ajar," bisiknya dalam hati dan melangkahkan kaki dari tempat itu, di dalam kesia-siaan. Kesia-siaan.

Medan, Mei 2007

Prasangka Buruk

PRASANGKA BURUK

By. Sondang Malau

Berita itu tersebar dengan cepat dari mulut ke mulut mencapai setiap sudut kampung itu, bahkan penduduk kampung tetangga sudah mendengarnya. Berita yang cukup menggemparkan penduduk kampung itu, karna kejadian seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Walau pun penduduk kampung tetangga sudah pernah mengalaminya.

Kedai kopi sangat berperan besar dalam penyebaran berita itu, karna di tempat itulah para bapak berkumpul setiap hari dan membahas masalah-masalah yang terjadi di sekeliling mereka maupun yang sedang mereka alami sendiri.

“Aku merasa takut juga setelah mengetahui kejadian buruk yang menimpa Pak Ronta,” Pak Manto, pengetua gereja di kampung itu membuka pembicaraan. Pagi itu kedai kopi Pak Tamba sudah ramai dikunjungi para bapak, sebelum mereka berangkat ke ladang masing-masing.

“Apa yang membuatmu takut, kan bukan kau yang mencurinya?”

“Aku takut karna aku juga punya kerbau, aku takut jika kerbauku juga akan lenyap tanpa bekas.”

“Tenanglah lae, mungkin dalam waktu dekat ini para pencuri kerbau itu akan berhenti melakukan aksinya untuk sementara. Mereka mungkin akan bersenang-senang dulu dengan hasil curian yang mereka dapatkan.”

Pak Manto sejenak terdiam sambil menimbang-nimbang pendapat lawan bicaranya, akan tetapi ia kembali ragu setelah mengingat bagaimana kerbau Pak Ronta dicuri.

“Apa kalian tidak tahu bagaimana para pencuri itu menggondol kerbau Pak Ronta? Kerbaunya hilang dalam sekejap mata. Malam itu sepulang dari ladang ia menambatkan kedua kebaunya di dalam kandangnya di belakang rumah. Kerbaunya, satu yang jantan besar dan yang satunya lagi masih kecil. Setelah mengunci pintu kandang, ia masuk rumah tanpa firasat apa-apa. Baru sekitar setengah jam kemudian, ia kembali ke belakang rumahnya untuk mengambil kayu bakar. Ia heran melihat pintu kandang sudah terbuka. Dan ia berlari sekuat tenaga ke dalam kandang itu, tetapi terlambat, kerbaunya yang jantan besar itu telah raib. Kerbaunya yang masih kecil ditinggalkan dan di punggungnya ia menemukan secarik kertas yang ditempel...”

“Apa isi kertas itu?” Pak Manan menyelanya.

“Isinya singkat saja, bunyinya, ' cepat besarkan kerbau yang kecil ini, setelah besar nanti kami akan kembali mengambilnya.'”

“Kejam sekali mereka itu, sangat biadab,” yang lain menanggapi.

“Teganya mereka melakukan itu, setelah mencuri mereka meninggalkan catatan segala,” Pak Manan ikut prihatin.

“Itulah yang kutakutkan. Lima tahun Pak Ronta memelihara kerbaunya dengan susah payah tetapi para pencuri biadab itu yang bersenang-senang. Mereka keterlaluan.” Pak Manto menambahkan.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang? Apa kita akan diam saja menunggu mereka kembali beraksi?”

“Sebaiknya masalah ini kita sampaikan kepada kepala desa. Kita usulkan saja supaya tiap malam diadakan ronda, bagaimana?” Pak Manan memberi pendapat.

“Sebaiknya begitu,” balas Pak Manto, kini ia merasa puas.

“Setuju!!” jawab para bapak yang lain hampir bersamaan.

* * *

Ronda telah diadakan dengan persetujuan kepala desa. Sebuah gubuk kecil telah berdiri tepat di pinggir jalan itu. Disana beberapa anak muda yang sedang bertugas, berkumpul untuk mengawasi setiap gerak-gerik yang mencurigakan. Jalan lintas ditutup, sebuah pedati dibuat merintanginya. Setiap mobil-mobil yang akan lewat harus berhenti untuk diperiksa.

Lima hari berturut-turut ronda tetap dilaksanakan penuh antusias, tampaknya belum membuahkan hasil. Tidak ada pencuri kerbau yang ditangkap tetapi mereka tetap menjalankan ronda karna khawatir jika para pencuri akan beraksi jika mereka tidak berjaga-jaga. Rata-rata penduduk kampung itu memelihara kerbau. Tenaga kerbau sangat dibutuhkan untuk membantu pengangkutan hasil-hasil pertanian dari ladang ke kampung.

Tetapi para pencuri seakan tahu bahwa di kampung itu sedang diadakan jaga malam. Dan mereka tak pernah beraksi selama ronda berlangsung. Akhirnya kegiatan ronda dihentikan juga, tanpa hasil tentunya. Tetapi kepala desa menghimbau supaya setiap penduduk tetap berjaga-jaga. Sehingga mereka menyembunyikan kerbau mereka ke tempat-tempat tersembunyai yang hanya diketahui mereka sendiri.

Lama-kelamaan para penduduk mulai lupa akan pencuri kerbau. Situasi kampung itu kembali normal tidak sepi seperti masa ronda. Tiap malam, pengunjung kedai tuak ramai, para bapak dan anak muda yang sudah putus sekolah selalu berkumpul disana mereka minum tuak sampai mabuk sambil bernyanyi sesuka hati mengikuti irama gitar. Sifat malu-malu lenyap diusir mabuk, tak peduli akan suara mereka yang sumbang, mereka tetap bernyanyi. Suara nyanyian mereka terdengar nyaring di kesunyian malam, mengusik para penduduk yang sedang bermimpi.

* * *

Di kampung itu Pak Manan mempunyai anak gadis bernama Rinti. Anak gadisnya itu akhir-akhir ini berada di kota, mencari kerja bermodalkan ijazah SMA-nya. Pak Manan tak punya biaya menguliahkannya karna ia hanya petani kecil yang sering gagal panen.

Rinti malu tinggal di kampung dan membantu orangtuanya bekerja di ladang. Ia juga malu pada kawan-kawan sebayanya yang bisa melanjutkan kuliah di kota. Ia ingin bekerja apa saja di kota, namun ia belum mendapatkannya.

* * *

Senyuman Rinti menghiasi wajahnya saat ia kembali ke kampungnya. Kampung dimana ia dibesarkan dan telah memberikan kenang-kenangan yang tak mungkin ia lupakan. Kenang-kenangan itu membuatnya rindu untuk kembali kesana.

Sore itu Rinti memasuki rumahnya yang tidak terkunci, rumah yang sederhana itu. Tiada siapa-siapa di rumahnya, ia yakin kedua orangtuanya masih di ladang. Seingatnya mereka selalu pulang malam jika pergi ke ladang, ladang yang cuma sepetak dan cukup jauh dari kampung.

Beberapa saat kemudian Rinti mendengar suara sepeda motor di depan rumahnya, berhenti. Ia melongo ke luar mencari tahu siapa gerangan yang baru datang itu.

“Rinti!” sapa seorang pemuda yang masih duduk di atas sepeda motornya bersama seorang pemuda lainnya.

“Mardi! Bikin kaget aja, aku kirain siapa.” Rinti terkejut.

“Apa khabar Rin?” Pemuda yang dipanggil Mardi itu tersenyum.

“Mari masuk dulu! Nanti nanya khabar segala.” Ajak Rinti.

Kedua pemuda tersebut mengikuti ajakan Rinti. Mereka duduk di sebuah bangku panjang yang agak reot, di emper rumah.

“Eh... siapa kawanmu Di?”

“Oh ya, kenalkan ini teman sekampungku.”

“Poltak,” kata pemuda itu sambil mengulurkan tangannya.

“Rinti,” Rinti menyambutnya.

“Mana orangtuamu Rin?” Tanya Mardi.

“Mungkin mereka masih di ladang, aku tak tahu pasti. Aku baru nyampe juga di kampung ini.”

“Baru pulang dari kota?”

“Ya.”

“Apa kamu udah dapat kerja di kota?”

“Sayangnya belum juga, ternyata cari kerja itu susah apalagi cuma mengandalkan ijazah SMA.”

“Baru tahu?”

“Memang baru.”

“Mardi, angin apa yang mengantarmu kesini? Tumben.”

“Sebenarnya, ah em begini Rin, orangtuaku memaksaku untuk menikah segera, mereka tak sabar lagi hendak menimang cucu. Lagipula aku anak tertua dan sudah tidak muda lagi,” Mardi menyatakan maksudnya secara langsung.

Rinti terdiam, tak menyangka jika Mardi serius dengan perkataannya, sejak perkenalan mereka sekitar sebulan yang lalu di kota. Ia tahu Mardi tertarik padanya. Mardi selalu memberinya semangat untuk tetap gigih mencari kerja.

Mardi sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta dan bergaji lumayan tinggi. Sejak kenalan, Mardi sering mengajak Rinti jalan-jalan keliling kota dan pergi ke pusat-pusat perbelanjaan dengan sepeda motornya.

Baru tiga minggu mereka kenal satu sama lain, Mardi menayakan kesediaan Rinti untuk dijadikan istrinya. Pada saat itu, Rinti masih bingung dan ia minta waktu untuk berfikir.

“Mardi, aku merasa belum siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan, aku masih terlalu muda untuk itu, belum matang dan tak punya pekerjaan. Maafkan aku.”

“Rin, kau tak perlu kerja setelah kita menikah nanti. Aku sudah bekerja dan mampu mencukupi kebutuhan kita berdua. Kau juga boleh cari kerja nanti, aku tidak melarang.”

“Dik benar apa yang Mardi katakan. Wanita sekarang kan cukup mengurus rumah tangga saja tanpa bekerja lagi, mencari uang itukan urusan suami,” Poltak ikut memberi pendapat.

“Aku tak tahu harus bagaimana, terus terang aku masih bingung. Kita tunggu aja orangtuaku kembali,” katanya seolah memberi harapan.

“Mardi sebentar yah aku mau masak dulu. Apa kalian tidak sebaiknya di dalam saja, di luar nyamuknya banyak, apalagi menjelang malam malam seperti ini.”

“Tidak lebih enak di luar...”

Rinti menyalakan lampu bola listrik pijar tepat di atas kepala mereka dan ia pergi ke dapur. Di dalam kebingungannya, ia mempersiapkan makan malam sebelum orangtuanya datang. Ia berangan-angan begaimana rasanya jadi seorang istri, istri yang hanya tinggal di rumah dan mengurus suami. Tawaran itu cukup menarik hatinya, tapi ia takut akan umurnya yang masih muda, 18 tahun sehingga suatu saat nanti mereka bisa cerai karna ia belum sanggup mengurus rumah tangga. Ia tarik napas dalam-dalam pertanda bingung.

Kedai tuak Pak Menet yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Rinti semakin malam makin ramai saja, apalagi malam minggu seperti itu. Nyanyian mereka semakin jelas kedengarannya, pertanda mereka sudah mulai mabuk. Saat-saat seperti itulah yang mereka inginkan, seolah masalah mereka telah lenyap, sisanya hanya kesenangan walau hanya untuk sesaat.

Mardi dan Poltak berbisik-bisik sejak ditinggal Rinti. Mimik wajah mereka cukup serius tanda ada sesuatu yang penting sedang mereka bicarakan dan ingin tiada orang lain yang mendengarnya. Selelah melirik ke kiri dan kanan, Mardi seolah memberi aba-aba pada Poltak untuk bergerak. Poltak segera mengelilingi rumah Rinti sambil menaburkan sesuatu yang ia ambil dari kantongan plastik di tangan kirinya. Rupanya pemilik mata-mata merah menyelidik tindakan kedua pemuda itu dari kedai tuak Pak Menet. Tindakan kedua pemuda itu membuat mereka curiga. Nyanyian mereka jadi terhenti sama sekali.

“Hoi! Anak muda apa yang sedang kalian lakukan?” Salah seorang dari pemilik mata-mata merah itu berteriak. Mardi dan poltak terlihat terkejut, sadar tindakan mereka telah kepergok. Mereka diam mematung.

Para pemilik mata-mata merah semakin curiga karna merasa pertanyaan yang terlontar itu tidak digubris sama sekali. Beberapa orang turun mendekat keduanya dengan langkah sedikit terhuyung dan memeriksa apa yang mereka taburkan, ternyata bunga-bunga.”

“Dimana kampung kalian?”

“Di balik gunung Simarjarunjung,” jawab Mardi gugub.

“Apa namanya he?”

“Kampung Pardean.”

“Ini bunga apa dan untuk apa?” yang lain ikutan menginterogasi.

“Hayo jawab!!! Kenapa jadi diam kayak batu!”

Dibentak seperti itu, mereka bukannya menjawab, malah mereka menundukkan kepala, terdiam. Mendengar keributan itu Rinti muncul. Ia telah mendengar sebagian dari percakapan mereka. Ia tak tahu berbuat apa dan ia juga ingini tahu untuk apa sebenarnya bunga-bunga itu mereka terbarkan di sekeliling rumahnya karna itu ia memilih diam.

“Hayo kita bawa mereka kesana,” kata seorang yang lebih tua sambil menunjuk kedai tuak Pak Menet.

“Hayo kawan!” Pekik mereka.

* * *

Kedua pemuda itu duduk bagai terdakwa yang siap menerima dakwaan. Anehnya, keduanya tak mau buka mulut untuk menjelaskan dan membela perbuatannya.

“Bicaralah saudara, sebelum kami kehilangan kesabaran!”

“Dan kehilangan kontrol,” sela yang lain yang sudah mabuk.

Sinar mata pemilik mata-mata merah itu mulai menyala melihat kebisuan kedua pemuda itu dan mereka saling berpandangan.

“Bunga-bunga ini nampaknya mirip dengan bunga-bunga yang ditaburkan di sekeliling kandang kerbauku yang hilang, yah mirip sekali!” Teriak Pak Ronta. Percikan api kemarahan mulai timbul di mata dan hati mereka.

“Mungkin merekalah para pencuri kerbau itu, lagipula mengapa mereka diam saja,” Salah seorang dari mereka menyimpulkan, menambah kecurigaan terhadap keduanya. Pencuri kerbau sangat mereka benci, yang bisa melenyapkan kerbau mereka dalam sekejap. Para pencuri telah meresahkan mereka, membuat tidur mereka terganggu.

“Mari kita pukul saja supaya buka mulut! Pekik yang lain.

“Hajar! Pukul!”

Mereka mulai melayangkan bogem mentah ke tubuh kedua anak muda itu. Sayangnya mereka tetap memilih bungkam dan para pemilik mata-mata merah semakin marah.

“Pencuri kerbau... hajar!” Seru yang lain, membakar api amarah mereka. Mereka mulai hilang kendali, ditambah pengaruh tuak membuat mereka makin berani. Potongan-ptotongan kayu mulai bicara meramai-ramaikan kedua tubuh malang itu. Tubuh yang mulai memar dan meneteskan air mata dan meneteskan warna merah. Bentuk wajah yang mulai tak berbentuk dihajar pukulan-pukulan yang bertubi-tubi.

Beberapa saat kemudian orang-orang mulai berdatangan, makin ramai. Telah tersiar khabar di kampung itu bahwa dua pencuri kerbau terlah tertangkap. Tanpa dikomando sebahagian besar penduduk berdatangan, membawa alat pukul masing-masing. Mereka menelan mentah-mentah berita itu. Dan mereka terlibat dalam drama pembantaian itu.

Sebahagian para ibu tidak tahan menyaksikan kedua tubuh yang tak berdaya itu. Mereka mencoba menghentikanna, mereka menangis histeris dan menanggalkan pakaian mereka. Namun menemui kegagalan juga. Teriakan para pemilik mata merah bagai di medan perang saja.

“Pencuri! Biadab!”

“Habisi! Hajar!”

“Bunuh!”

Semua makin gila, memukul, menendang, meludahi sesuka hati mereka. Mobil-mobil yang melintas berhenti, supirnya turun dan ikut menggebuki. Salah seorang dari mereka malah menggilas kedua tubuh yang malang itu di bawah roda-roda mobilnya. Darah muncrat dan mengalir kemana-mana. Para ibu dan anak-anak pergi meninggalkan tempat pembantaian itu sambil menangis karna tak tahan menyaksikannya.

Rinti tak menyangka akan berakhir seperti itu, penduduk kampungnya sungguh kejam. Rinti tak sadarkan diri menyaksikan kekejian itu berlangsung di depan matanya, ia pingsan di teras rumahnya.

Manusia-manusia berhati setan itu rupaya belum puas. Iblis telah menguasai hati mereka untuk membantai sesamanya. Mereka mengambil sepeda motor pemuda malang itu, menempatkan tubuh-tubuh tak bernyawa itu di atas sepeda motornya, minyak disiram. Kemudian api menyala melahap ke dua tubuh itu, bau tubuh gosong memenuhi tempat itu.

Mobil polisi datang setelah semuanya berlalu, mereka terlambat. Semua penduduk yang ikut dalam pembantaian itu melarikan diri, tak ada seorang pun yang bertanggungjawab. Polisi tinggal mengumpulkan mayat yang nyaris hangus itu, tanpa menangkap pelakunya.

Sejak kejadian yang mengenaskan itu, Rinti telah berubah, hilang ingatan tak mampu menerima kenyataan. Dengan rambut panjangnya yang tak terurus, dan bajunya yang compang camping ia berjalan berkeliling di sekitar kampung itu. Ia terlihat bahagia dengan dunianya yang hanya bisa dimengertinya sendiri. Lihatlah ia tersenyum.

Deliserdang, Mei 2007


Terpaksa Kawin

“TERPAKSA KAWIN”

By: Sondang Malau

Para perawat dan dokter sibuk mengurusi pasien-pasien sekamar Bapakku di rumah sakit itu. Seorang dokter memeriksa tubuh pasien yang seluruh tubuhnya dipenuhi bintil-bintil merah. Kemudian memberi penjelasan mengenai penyakit itu dan memberi secarik kertas resep pada keluarga yang menjaga si pasien untuk membeli obat dengan segera. Kemudian ia pergi pada pasien lain yang tubuhnya begitu kurus, yang terlihat hanya tulang-tulangnya yang dibalut kulit tipis. Si pasien mencoba tersenyum pada dokter yang tersenyum kepadanya.

“Putriku Peniras…lihat Bapak nak! Bapak sebentar lagi akan pergi menghadap Tuhan yang di atas sana. Para dokter sudah angkat tangan pada penyakit kanker Bapak yang ganas.” Tiba-tiba perkataan Bapak menyentakkan perhatianku dari kesibukan-kesibukan di rumah sakit ini. Kembali pada Bapakku yang juga salah seorang pasien yang menempati ruangan ini. Akankah Bapakku akan sembuh? Sejam yang lalu dokter mengatakan keadaan Bapakku yang sedikit kemungkinan akan sembuh. Air mata bapakku menetes membasahi pipinya yang cekung. Ibu hanya bisa diam dengan wajah murung memegangi tangan kiri Bapak di tepi ranjang.

“Pa… jangan berkata seperti itu. Percayalah pada Tuhan. Ia akan menyembuhkan bapak kalau kita berdoa meminta kepada-Nya dengan tulus. Iras akan selalu menemani bapak di sini.” Kataku menghibur bapak dan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Aku jadi sedih.

“Ras…bapak sangat menyayangimu. Bapak tak ingin kau menderita jika aku telah pergi. Kau satu-satunya anakku. Bapak ingin kau bahagia nak.”

“Iras mengerti Pa. Iras juga sayang Bapak. Berjanjilah Pa, Bapak tidak akan meninggalkan Iras dan Ibu kan?”

“Itu tidak akan terjadi nak, sebelum Bapak melihatmu bahagia aku tak akan meninggalkan kalian. Percayalah pada Bapak!” Bapak tersenyum dan membelai rambutku dengan rasa sayang. Ibu hanya bisa memandangi kami sambil memaksakan senyumnya.

“Ras…” Panggil Bapak lemah.

“Ya Pa.

“Bapak ingin kau bahagia sebelum Bapak pergi. Mau kah kau melakukan sesuatu untuk Bapak, sebelum Bapak pergi?”

“Iras menyayangimu Pa. Apappun Iras lakukan agar Bapak bisa sembuh kembali. Katakan Pa, apa yang bisa Iras buat untuk menyenangkan hati Bapak!” Kataku ingin tahu. Sepertinya Bapak menyembunyikan sesuatu yang penting.

“Begini anakku. Bapak memintamu untuk menikah dengan seseorang yang kelak bisa membuatmu bahagia…”

“Menikah?” Aku terkejut bukan kepalang, tak kusangka permintaan Bapak bisa jauh dari dugaanku semula.

“Ras…menikahlah dengannya demi Bapak dan demi kabahagianmu nanti. Bapak telah memilih orang yang tepat buatmu, yang bisa membuatmu bahagia dengan demikian arwah Bapak bisa tenang diatas sana.”

“Pa…Iras kan masih SMA, sebentar lagi Iras mau ujian EBTANAS. Mana mungkin Iras nikah semuda ini.” Aku mulai memberi alasan karna tak bisa kubayangkan apa artinya pernikahan bagiku. Aku masih terlalu dini untuk itu. Belum siap secara lahir dan batin.

“Ras, kau udah cukup besar untuk menikah nak. Kau menyayangi Bapakkan?”

“Tentu Pa Iras hanya merasa kurang siap!”

“Tenang saja Ras Bapak bisa mengaturnya.”

Tapi Pa siapa nanti yang akan menikahiku dan yang bisa membuatku bahagia.” Tanyaku penasaran siapa gerangan yang akan menjadi suamiku kelak. Kalau tampan sih aku tak peduli, sebagai seorang gadis aku sering membayangkan seorang pangeran dan bersanding dengannya di atas tahta seperti di cerita dongeng anak-anak. Mungkinkah hayalan itu bisa terwujud di jaman reformasi ini.

“Dia masih famili kita nak. Kau pasti sudah mengenalnya, ia sudah pernah datang ke rumah ini. Ia anak pamanmu yang tinggal di Jakarta, Tuajinus.”

“Hah!” Aku terkejut, napasku serasa terhenti di kerongkonganku. Ternyata bukan seorang pangeran yang akan mempersuntingku, malah sebaliknya Tuajinus sudah tua. Ia sudah berkepala tiga dan yang yang lebih mengejutkan lagi rautnya mukanya jelek. Dari dulu aku memang heran melihat Tuajinus yang belum menikah dengan umur setua itu. Aku hanya bisa menduga bahwa karna wajahnya yang jeleklah makanya tidak ada seorang gadis pun yang mau menikah dengannya. Sedang aku, bukan puji diri, teman-teman mengatakan bawa wajahku cantik sesuai dengan penilaianku sendiri. Dan memang cowok-cowok di sekolahku banyak yang naksir.

“Bagaima Ras kau setuju kan?” Pertanyaan Bapak membuyarkan lamunanku.

“Pa…mengapa harus dia. Umur kami kan terpaut jauh hampir dua puluh tahun. Bagaimana mungkin ini bisa tejadi.”

“Ras, Bapak mengenalnya dengan baik dan dia memang orangnya baik. Kau akan bahagia bersamanya, semuanya sudah ia miliki. Pekerjaan yang menghasilkan uang banyak dan rumah. Kau tak perlu cape lagi mencari uang. Kau hanya kan tinggal di rumah mengurus rumah tangga kalian.” Mata bapak berkilat-kilat, seolah-olah tiada suatu penyakit apapun di tubuhnya.

“Bu bagaimana ini?” Tanyaku pada ibu meminta dukungan darinya. Setelah kulihat wajah ibu, rasa-rasanya aku sudah berada pada posisi yang sulit. Wajahnya tanpa ekspresi.

“Nak dengarkanlah Bapakmu, ikutilah apa yang dia minta. Buatlah hatinya bahagia selagi masih bisa.” Ternyata Ibu juga mendukung Bapak tak memberiku kesempatan lagi untuk menikmati masa lajangku. Aku terpojok sudah. Dilain pihak aku memang mencintai Bapak dan tak mau kehilangannya.

Kisah Sitinurbaya seolah mulai menjelma dalam kehidupanku. Kisah itu telah menjadi kenyataan di zaman reformasi ini yang nyata-nyatanya tidak bisa mereformasi kisah zaman penjajahan itu. Zaman reformasi yang diteriakkan para pendemo di negeri ini hanya isapan jempol belaka dan semboyan kosong tanpa wujud. Tapi hidupku tak sepenuhnya sama dengan kisah itu, banyak bedanya. Keluargaku kaya tak kekurangan uang dan akar masalahnya juga beda, yakni karna Bapakku sakit keras dan menginginkanku hidup bahagia sebelum dia pergi bukan karena menyelamatkan keluarga yang terlilit utang. Dan orang yang akan kunikahi juga belum pernah menikah. Kalau Tuajinus tampan, mendekati wajah pangeran saja kukira aku takkan sesedih ini. Wajahnya hampir sama dengan paras Datuk Maringgih, bedanya Tuajinus belum setua si Datuk tersebut.

Pikiranku jadi kusut. Aku membayangkan masalah-masalah sulit yang akan menghampiriku nanti. Pasti teman-temanku akan menertawakanku bersanding dengannya dan jika aku hamil nanti, aku takut melahirkan. Bukankah begitu banyak berita mengenai kematian ibu-ibu muda yang sedang melahirkan. Ah barangkali pikiranku terlalu jauh ngelantur. Dan apakah aku akan bahagia dengannya? Aku resah, bingung dan ingin mati saja. Ada rasa penyesalan menyelinap di hatiku, menyesal dilahirkan ke dunia Sitinurbaya yang bertopengkan reformasi ini.

“Pa beri Iras waktu untuk memikirkannya. Iras tak bisa memutuskannya sekarang. Inikan demi masa depanku.” Elakku mencoba mengulur waktu.

“Nak…tak ada waktu lagi untuk berpikir. Bapak bisa pergi kapan saja, mengertilah! Jangan kecewakan Bapak untuk yang terakhir kalinya!” Air muka Bapak berobah sedih dan bola matanya mulai berkaca-kaca.

Ternyata aku tak punya pilihan lain sama seperti kisah Sitinurbaya juga, dihalau menuju jalan berbatu yang tak berujung dan asing, penuh dengan berbagai rintangan yang tidak pasti. Mengapa aku berobah menjadi Sitinurbaya yang malang, apakah ini yang dinamakan suratan takdir?

Baiklah Pa…” Kataku lemah, pasrah pada takdirku. Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Malam itu kami bertiga larut dalam tangis yang maknanya berbeda-beda. Bapak menangis karena senang melihatku setuju dengan keinginannya, sedangkan aku menangis karna ketidakpastian, dan mungkin tangis ibu berada diantara kedua makna itu.

***

Hari yang ditunggu-tunggu orangtuaku tiba, hari pernikahanku dengan Tuajinus. Hari kebahagiaan Bapakku yang kurasakan sebagai akhir dari kebahagianku, hari terakhir bersama orangtua yang kusayangi. Aku merasakan bahwa hari itulah hari pembuanganku secara resmi secara adat, yang dihadiri dan disaksikan banyak orang, termasuk teman-teman sekelasku. Kemana wajahku ini akan kusembunyikan? Mamapukah make-up ini menyembunyikan muka hatiku yang resah dan gundah.

Mereka mendandaniku dengan pakaian yang aneh, seolah aku ini hanyalah suatu barang yang dihias sebelum dijual ke pasar. Pasar yang hanya ada seorang pembeli yakni Tuajinus. Para pengunjung pasar yang lain hanyalah sebagai saksi bahwa aku sudah resmi terjual dan tidak bisa berkutik lagi. Make-upku tak mampu menyembunyikan perasahan resah bercampur malu di hatiku. Aku tak kuat menjalani prosesi pembuangan ini, aku mulai pecah berantakan.

Acara pemberkatan di Gereja mulai berjalan. Kami bertiga bersama Pendeta berdiri di depan altar dan para sanak keluarga juga berdiri di banku jemaat. Prosesinya berjalan terlalu hening membuatku takut, Tuhan rasanya jauh meninggalkanku. Sekilas kulihat ke dua orangtuaku, Bapak tersenyum duduk di kursi rodanya didampingi ibu yang juga tersenyum. Mungkin mereka sudah puas dan bahagia sekarang.

Ketika Pendeta memberkati dan meresmikan pernikahan kami, entah datangnya dari mana dua kucing berlarian masuk dengan suara berisik memecah kesunyian. Kemudian keduanya naik ke meja altar dan mulai cakar-cakaran, dengan suara geraman dan tangisan yang memilukan. Melihat itu semua yang menyaksikannya bertanya-tanya heran. Kulihat Bapak dan Ibu mulai meneteskan air mata, apa mereka jadi takut kini? Apa mereka menyesal telah menjualku semuda ini? Aku tak sampai hati melihat orang tuaku yang kepayahan larut dalam tangis dan aku pun tak kuat lagi membendung air mataku. Apa kedua kucing yang cakar-cakaran itu ramalan masa depan kami? Lama kedua kucing itu berhasil dihalau keluar dari prosesi itu.

Tapi aku tak punya pilihan lain. Tak mungkin mundur setelah melangkah sejauh ini membatalkan pernikahan. Aku pasrah pada kesulitan yang mungkin menunggu di depan sana. Semuanya demi Bapakku yang kapanpun bisa meninggalkanku dan demi kedamaiannya di alam lain aku merelakan kebahagiaan masa mudaku sendiri terbang bersama semilir angin. Acara-acara selanjutnya dengan semua tetek bengeknya berjalan tanpa sentuhan hatiku.

* * * * *

Deliserdang, Mei 2007