PENIPU
By. Sondang Malau
Anak kos tetap ramai di gang yang letaknya tak jauh dari sebuah universitas yang mahasiswanya tak pernah sepi. Kakek Senyo suka bersahabat dengan para mahasiswa itu. Ia berjualan di kios kecilnya di gang, tepat di depan rumah kos para mahasiswa itu. Anak-anak kos sering belanja disana karna dekat dan barang-barangnya tidak mahal. Itulah sebabnya hubungan Kakek dengan para mahasiswa itu semakin erat.
Kakek Senyo sudah kenal lama dengan Jengkol, seorang mahasiswa yang kos di depan rumahnya. Pemuda itu suka meluangkan waktunya bersama Kakek Senyo karna ia seorang pendengar cerita yang baik. Ia selalu tertarik mendengarkan kisah-kisah kakek Senyo yang suka mengisahkan pengalamannya di jaman Belanda dulu. Hubungan mereka semakin kuat antara seorang pencerita dan pendengar, saling mengisi satu sama lain.
“Rokoknya sebatang dulu kek!...trus sewaktu kakek kerja sebagai pembantu orang Belanda, apa teman-teman kakek orang
Begitulah cara Jengkol minta rokok sebatang demi sebatang sewaktu mereka bercerita. Kakek tua itu cepat-cepat mengambil sebatang rokok lalu menyerahkannya pada jengkol dan ia semakin bersemangat menceritakan masa lalunya.
“Oh tidak, karna aku hanya pekerja biasa di kebun majikanku. Dan aku
“Trus bagaimana lagi kelanjutannya kek?” pancing Jengkol antusias, membuat Kakek itu tetap betah. Sewaktu kakek melanjutkan kisahnya kembali, Jengkol mendengarnya dengan penuh perhatian sambil menikmati asap rokoknya.
“Kek minta dua batang lagi rokoknya, ngutang dulu ya kek, maklum kek masih anak kos. Tolong dibuatkan bonnya biar tak lupa nanti ya kek!”
“Ya…beres,” kakek itu menyetujuinya dengan senang hati merasa puas masih ada orang yang mau mendengarkan kisah hidupnya di masa mudanya dulu sementara anak cucunya tidak mau lagi mendengarkan kisah-kisahnya, mungkin mereka bosan mendengar cerita yang berulang-ulang. Lain halnya dengan Jengkol yang selalu antusias dan bisa tertawa mendengarkan kisahnya kalau ada yang lucu.
Seperti itulah Kakek Senyo dan Jengkol melewati hari-harinya. Rokok batang demi batang jadi abu dan asap setiap kali mereka bercerita dan bonnya terus bertambah. Kakek Senyo tetap asyik bercerita sampai lupa segalanya. Lupa akan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Diluar perkiraan kakek Senyo, tanpa aba-aba sebelumnya Jengkol pergi tanpa melunasi utang-utangnya yang tidak sedikit. Ia terpelongo tak bisa berbuat apa-apa lagi.
* * *
Empat tahun berlalu tanpa terasa. Anak-anak penghuni rumah kos selalu berganti. Mahasiswa lama sudah tamat wisuda dan mahasiswa baru datang mengisi rumah kos yang mereka tinggalkan. Kakek Senyo tidak berubah, ia selalu akrab dengan para mahasiswa itu walau ia pernah ditipu oleh salah seorang dari mereka. Ia tidak mau larut dalam kesedihan walau ia sadar bahwa ia terlalu mempercayai pemuda itu.
Di gang itu, hampir semua mahasiswa lama maupun baru mengenal Kakek Senyo yang suka menyapa mereka ketika mereka lewat dari depan kiosnya hendak berangkat ke kampus dan mereka juga suka berbelanja di kios kecil kakek yang selalu suka menegur mereka dan selalu suka tersenyum. Anak-anak kos yang baru cepat akrab dengan Kakek Senyo karena keramahannya.
Sore itu Kakek Senyo sedang bercerita-cerita dengan Paul, anak kos baru yang juga mahasiswa baru. Paul juga punya minat mendengar kisah masa lalunya.
“Dulu kakek masih ingat sekitar tahun 80-an, kemana-mana kakek selalu naik sepeda di
“Kakek pasti kecapean dan waktu itu pasti kakek masih kuat, benar
“Lha ia, siapa dulu dong. Tau gak Paul, dulu kakek tampan lho. Kau nggak percaya? Buktinya kakek sudah tiga kali kawin, laris…”
“Maksud kakek sudah tiga kali nikah?”
“Ya.”
“Ah yang benar saja kek, masa?”
“Ya! Istriku yang sekarang ini adalah istri yang ketiga dan…”
“Hebat benar kakek. Istri kakek yang dulu dikemanain kek?”
Lama Kakek Senyo tidak manjawabnya hingga membuat Paul heran. Ternyata Kakek Senyo sedang memperhatikan seorang pemuda yang sedang berjalan ke arah mereka.
“Sepertinya aku mengenalnya…”guman kakek tidak sadar seperti bicara pada dirinya sendiri. Ia memandanginya tanpa berkedip untuk meyakinkan dirinya akan pemuda itu. Paul mengikuti arah pandangan mata kakek, ia tak bisa menduga apa gerangan yang Kakek Senyo pikirkan tentang orang asing itu.
“Halo kakek! Sudah lama tak bersua!” kata pemuda asing itu menyapa dengan akrab sambil mengulurkan tangannya.
“Jengkol Ooo..darimana saja kau selama ini? Tak kusangka kau kembali lagi ck, ck, ck, tak kusangka.” Kakek Senyo tersenyum sambil menyambut uluran tangan itu.
“Biasalah kek, merantau cari kerja. Namanya hidup kek tak pernah berhenti, terus mengalir seperti air,” kata-katanya mengalir lancar juga seperti air.
“Ah Jengkol makin pintar aja berkata-kata. Pasti kau udah dapat kerja yang bagus ya?” tanya kakek begitu bersemangat.
“Gonta-ganti kerja kek, tak betah apalagi di Jawa. Aku masih dalam tahap menyesuaikan diri dengan lingkungan baru itu. Aku tak biasa hidup di
Kakek Senyo seolah terbius mendengar sekelumit pengalaman Jengkol sampai ia hampir lupa tentang keberadaan Paul.
“Oh kenalan dulu kalian!” seru kakek tersadar akan keberadaan Paul.
“Paul.”
“Jengkol! Masih kuliah kau Paul?”
“Masih bang.”
“Fakultas dan stambuk?”
“Sastra, dua ribu. Abang uda tamat?”
“Udah tahun sembilan enam yang lewat, fakultas ekonomi.”
“Asalnya darimana bang?”
“Samosir, kau?”
“Sarobudolok, bang.”
“Kakek, rokoknya dua batang!”
“Sebentar yah!”
Jengkol menyodorkan sebatang rokok yang baru diterimanya pada Paul dan yang sebatang lagi diselipkan di antara bibirnya sendiri. Wajah kakek tua itu terasa segar kembali, ada suatu rasa bahagia yang menyusupi hatinya, mungkin karena ia ingat akan keakraban mereka dulu.
“Seterusnya gimana pengalamanmu Jengkol?” kakek Senyo bertanya lagi tanpa mengulur waktu.
* * *
Kakek Senyo merasa senang setelah ia tahu bahwa Jengkol tinggal disana untuk beberapa minggu. Jengkol minta ijin pada Paul untuk sementara waktu menginap di kamarnya bersama. Pucuk dicinta wulanpun tiba. Kakek Senyo yakin bahwa Jengkol akan melunasi utang-utangnya dan ia juga yakin bahwa Jengkol datang untuk membayarnya.
Ia mengulang masa nostalgianya dulu bersama Jengkol. Dan rokok demi rokok kembali lenyap jadi abu tanpa bayar setiap kali mereka bertemu. Kakek Senyo tenang-tenang saja, ia kembali membuat daftar bon Jengkol yang baru. Ia percaya pada Jengkol tidak mungkin menipunya kembali.
Setiap hari mereka berdua asyik bercerita sebagai dua orang sahabat lama. Kakek Senyo menemukan kembali masa lalunya yang menyenangkan. Ia berpuas diri bercerita dengan seorang pendengar setianya.
Namun Kakek Senyo mulai sedikit curiga pada tingkah Jengkol yang terasa janggal. Dua hari berturut-turut ia melihat Jengkol duduk sendirian melamum di bawah terik matahari sambil merokok. Tapi Kakek Senyo tidak telalu menghiraukannya.
* * *
Sejak pagi Kakek Senyo tak melihat Jengkol sehingga ia mulai takut jangan-jangan anak itu telah menipunya untuk yang kedua kalinya. Ia bertanya-tanya dalam hati dimana gerangan sahabatnya itu berada. Tetapi sampai sore ia tak menemukannya muncul di teras rumah kos depan rumahnya. Kecurigaannya semakin menjadi jadi.
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Kakek Senyo yang sedang larut dalam lamunannya.
“Helo kek sedang ngapain, kok ngantuk-ngantuk begitu?”
“Eh Paul, biasa duduk-duduk tak ada kerjaan. Mau beli apa kau Ul?”
“Sabun telepon sebatang kek dan gula seperempat kek.”
“Paul, dimana Jengkol kok nggak kelihatan hari ini. Apa dia tak tidur di kamarmu semalam?”
“Nggak kek. Entah kemana perginya aku tak tahu kek. Emangnya kenapa kek?” tanya Paul Heran melihat wajah Kakek Senyo yang berobah murung.
“Hah… aku ditipunya lagi Paul!”
“Ditipu gimana maksud kakek?”
Lama kakek tidak menyahut lalu dengan menarik nafas panjang ia mengisahkan pengalaman barunya tidak lagi kisah tentang sejarah kolonialisme di
“Hah ceritanya panjang Paul. Empat tahun lalu, ketika ia masih mahasiswa, ia menipuku. Ia pergi diam-diam tanpa membayar utang-utangnya. Salahku juga membiarkannya ngutang rokok terus-terusan waktu itu. Aku percaya padanya karena ia kan mahasiswa, berpendidikan, tak mungkin ia menipu orang tua yang sudah bau tanah dan tak berpendidikan ini. Nyatanya kepercayaanku disalahgunakan olehnya, memalukan!
Ia memang minta rokok hanya sebatang demi sebatang terus-terusan sepanjang tahun, utangnya makin menumpuk dan ia tiba-tiba pergi begitu saja…” Kakek Senyo berhenti seolah menghimpun kembali kekuatannya,”…sewaktu kita ngomong-ngomong kemarin, Jengkol tiba-tiba muncul. Aku yakin bahwa ia datang untuk membayar utang-utangnya. Aku senang melihatnya kembali, apalagi aku bisa bercerita lagi seperti dulu dengannya. Aku kembali menaruh kepercayaan padanya dan terlena akan semangatnya mendengar cerita-ceritaku. Dan ia ngutang lagi, aku ladeni tanpa curiga. Memang belakangan ini aku udah curiga, barangkali otaknya sudah miring. Bayangkan Paul! Ia duduk-duduk di panas matahari termenung sambil merokok. Dan sekarang tiba-tiba ia lenyap seperti hantu. Aku terlambat. Kurang ajar anak itu, percuma udah sarjana!” Kakek Senyo geram sambil mengepalkan tinjunya.
“Mungkin ia sudah sinting kek, selama ia tinggal di kamarku aja bajunya tak pernah diganti. Sejak datang sampai perginya bajunya itu-itu saja hampir seminggu ini.”
“Udahlah Paul, semuanya sudah terjadi tak perlu disesali lagi. Semoga Tuhan mengampuninya. Apa tadi yang mau kau beli Paul?”
“Sabun sebatang dan gula seperempat kek.”
“Nih, tiga ribu aja!”
Paul menyodorkan uang kertas lima ribuan. Kakek Senyo menerima dan menukarnya.
“Terimakasih kek,” katanya setelah menerima uang kembaliannya.
“Sama-sama,” balas kakek Senyo mulai tersenyum kembali. Diam-diam Paul merasa kasihan pada pada kakek tua itu.
* * * *
Tanjung Sari, 12 Desember 2005