Jumat, April 18, 2008

Prasangka Buruk

PRASANGKA BURUK

By. Sondang Malau

Berita itu tersebar dengan cepat dari mulut ke mulut mencapai setiap sudut kampung itu, bahkan penduduk kampung tetangga sudah mendengarnya. Berita yang cukup menggemparkan penduduk kampung itu, karna kejadian seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya. Walau pun penduduk kampung tetangga sudah pernah mengalaminya.

Kedai kopi sangat berperan besar dalam penyebaran berita itu, karna di tempat itulah para bapak berkumpul setiap hari dan membahas masalah-masalah yang terjadi di sekeliling mereka maupun yang sedang mereka alami sendiri.

“Aku merasa takut juga setelah mengetahui kejadian buruk yang menimpa Pak Ronta,” Pak Manto, pengetua gereja di kampung itu membuka pembicaraan. Pagi itu kedai kopi Pak Tamba sudah ramai dikunjungi para bapak, sebelum mereka berangkat ke ladang masing-masing.

“Apa yang membuatmu takut, kan bukan kau yang mencurinya?”

“Aku takut karna aku juga punya kerbau, aku takut jika kerbauku juga akan lenyap tanpa bekas.”

“Tenanglah lae, mungkin dalam waktu dekat ini para pencuri kerbau itu akan berhenti melakukan aksinya untuk sementara. Mereka mungkin akan bersenang-senang dulu dengan hasil curian yang mereka dapatkan.”

Pak Manto sejenak terdiam sambil menimbang-nimbang pendapat lawan bicaranya, akan tetapi ia kembali ragu setelah mengingat bagaimana kerbau Pak Ronta dicuri.

“Apa kalian tidak tahu bagaimana para pencuri itu menggondol kerbau Pak Ronta? Kerbaunya hilang dalam sekejap mata. Malam itu sepulang dari ladang ia menambatkan kedua kebaunya di dalam kandangnya di belakang rumah. Kerbaunya, satu yang jantan besar dan yang satunya lagi masih kecil. Setelah mengunci pintu kandang, ia masuk rumah tanpa firasat apa-apa. Baru sekitar setengah jam kemudian, ia kembali ke belakang rumahnya untuk mengambil kayu bakar. Ia heran melihat pintu kandang sudah terbuka. Dan ia berlari sekuat tenaga ke dalam kandang itu, tetapi terlambat, kerbaunya yang jantan besar itu telah raib. Kerbaunya yang masih kecil ditinggalkan dan di punggungnya ia menemukan secarik kertas yang ditempel...”

“Apa isi kertas itu?” Pak Manan menyelanya.

“Isinya singkat saja, bunyinya, ' cepat besarkan kerbau yang kecil ini, setelah besar nanti kami akan kembali mengambilnya.'”

“Kejam sekali mereka itu, sangat biadab,” yang lain menanggapi.

“Teganya mereka melakukan itu, setelah mencuri mereka meninggalkan catatan segala,” Pak Manan ikut prihatin.

“Itulah yang kutakutkan. Lima tahun Pak Ronta memelihara kerbaunya dengan susah payah tetapi para pencuri biadab itu yang bersenang-senang. Mereka keterlaluan.” Pak Manto menambahkan.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang? Apa kita akan diam saja menunggu mereka kembali beraksi?”

“Sebaiknya masalah ini kita sampaikan kepada kepala desa. Kita usulkan saja supaya tiap malam diadakan ronda, bagaimana?” Pak Manan memberi pendapat.

“Sebaiknya begitu,” balas Pak Manto, kini ia merasa puas.

“Setuju!!” jawab para bapak yang lain hampir bersamaan.

* * *

Ronda telah diadakan dengan persetujuan kepala desa. Sebuah gubuk kecil telah berdiri tepat di pinggir jalan itu. Disana beberapa anak muda yang sedang bertugas, berkumpul untuk mengawasi setiap gerak-gerik yang mencurigakan. Jalan lintas ditutup, sebuah pedati dibuat merintanginya. Setiap mobil-mobil yang akan lewat harus berhenti untuk diperiksa.

Lima hari berturut-turut ronda tetap dilaksanakan penuh antusias, tampaknya belum membuahkan hasil. Tidak ada pencuri kerbau yang ditangkap tetapi mereka tetap menjalankan ronda karna khawatir jika para pencuri akan beraksi jika mereka tidak berjaga-jaga. Rata-rata penduduk kampung itu memelihara kerbau. Tenaga kerbau sangat dibutuhkan untuk membantu pengangkutan hasil-hasil pertanian dari ladang ke kampung.

Tetapi para pencuri seakan tahu bahwa di kampung itu sedang diadakan jaga malam. Dan mereka tak pernah beraksi selama ronda berlangsung. Akhirnya kegiatan ronda dihentikan juga, tanpa hasil tentunya. Tetapi kepala desa menghimbau supaya setiap penduduk tetap berjaga-jaga. Sehingga mereka menyembunyikan kerbau mereka ke tempat-tempat tersembunyai yang hanya diketahui mereka sendiri.

Lama-kelamaan para penduduk mulai lupa akan pencuri kerbau. Situasi kampung itu kembali normal tidak sepi seperti masa ronda. Tiap malam, pengunjung kedai tuak ramai, para bapak dan anak muda yang sudah putus sekolah selalu berkumpul disana mereka minum tuak sampai mabuk sambil bernyanyi sesuka hati mengikuti irama gitar. Sifat malu-malu lenyap diusir mabuk, tak peduli akan suara mereka yang sumbang, mereka tetap bernyanyi. Suara nyanyian mereka terdengar nyaring di kesunyian malam, mengusik para penduduk yang sedang bermimpi.

* * *

Di kampung itu Pak Manan mempunyai anak gadis bernama Rinti. Anak gadisnya itu akhir-akhir ini berada di kota, mencari kerja bermodalkan ijazah SMA-nya. Pak Manan tak punya biaya menguliahkannya karna ia hanya petani kecil yang sering gagal panen.

Rinti malu tinggal di kampung dan membantu orangtuanya bekerja di ladang. Ia juga malu pada kawan-kawan sebayanya yang bisa melanjutkan kuliah di kota. Ia ingin bekerja apa saja di kota, namun ia belum mendapatkannya.

* * *

Senyuman Rinti menghiasi wajahnya saat ia kembali ke kampungnya. Kampung dimana ia dibesarkan dan telah memberikan kenang-kenangan yang tak mungkin ia lupakan. Kenang-kenangan itu membuatnya rindu untuk kembali kesana.

Sore itu Rinti memasuki rumahnya yang tidak terkunci, rumah yang sederhana itu. Tiada siapa-siapa di rumahnya, ia yakin kedua orangtuanya masih di ladang. Seingatnya mereka selalu pulang malam jika pergi ke ladang, ladang yang cuma sepetak dan cukup jauh dari kampung.

Beberapa saat kemudian Rinti mendengar suara sepeda motor di depan rumahnya, berhenti. Ia melongo ke luar mencari tahu siapa gerangan yang baru datang itu.

“Rinti!” sapa seorang pemuda yang masih duduk di atas sepeda motornya bersama seorang pemuda lainnya.

“Mardi! Bikin kaget aja, aku kirain siapa.” Rinti terkejut.

“Apa khabar Rin?” Pemuda yang dipanggil Mardi itu tersenyum.

“Mari masuk dulu! Nanti nanya khabar segala.” Ajak Rinti.

Kedua pemuda tersebut mengikuti ajakan Rinti. Mereka duduk di sebuah bangku panjang yang agak reot, di emper rumah.

“Eh... siapa kawanmu Di?”

“Oh ya, kenalkan ini teman sekampungku.”

“Poltak,” kata pemuda itu sambil mengulurkan tangannya.

“Rinti,” Rinti menyambutnya.

“Mana orangtuamu Rin?” Tanya Mardi.

“Mungkin mereka masih di ladang, aku tak tahu pasti. Aku baru nyampe juga di kampung ini.”

“Baru pulang dari kota?”

“Ya.”

“Apa kamu udah dapat kerja di kota?”

“Sayangnya belum juga, ternyata cari kerja itu susah apalagi cuma mengandalkan ijazah SMA.”

“Baru tahu?”

“Memang baru.”

“Mardi, angin apa yang mengantarmu kesini? Tumben.”

“Sebenarnya, ah em begini Rin, orangtuaku memaksaku untuk menikah segera, mereka tak sabar lagi hendak menimang cucu. Lagipula aku anak tertua dan sudah tidak muda lagi,” Mardi menyatakan maksudnya secara langsung.

Rinti terdiam, tak menyangka jika Mardi serius dengan perkataannya, sejak perkenalan mereka sekitar sebulan yang lalu di kota. Ia tahu Mardi tertarik padanya. Mardi selalu memberinya semangat untuk tetap gigih mencari kerja.

Mardi sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta dan bergaji lumayan tinggi. Sejak kenalan, Mardi sering mengajak Rinti jalan-jalan keliling kota dan pergi ke pusat-pusat perbelanjaan dengan sepeda motornya.

Baru tiga minggu mereka kenal satu sama lain, Mardi menayakan kesediaan Rinti untuk dijadikan istrinya. Pada saat itu, Rinti masih bingung dan ia minta waktu untuk berfikir.

“Mardi, aku merasa belum siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan, aku masih terlalu muda untuk itu, belum matang dan tak punya pekerjaan. Maafkan aku.”

“Rin, kau tak perlu kerja setelah kita menikah nanti. Aku sudah bekerja dan mampu mencukupi kebutuhan kita berdua. Kau juga boleh cari kerja nanti, aku tidak melarang.”

“Dik benar apa yang Mardi katakan. Wanita sekarang kan cukup mengurus rumah tangga saja tanpa bekerja lagi, mencari uang itukan urusan suami,” Poltak ikut memberi pendapat.

“Aku tak tahu harus bagaimana, terus terang aku masih bingung. Kita tunggu aja orangtuaku kembali,” katanya seolah memberi harapan.

“Mardi sebentar yah aku mau masak dulu. Apa kalian tidak sebaiknya di dalam saja, di luar nyamuknya banyak, apalagi menjelang malam malam seperti ini.”

“Tidak lebih enak di luar...”

Rinti menyalakan lampu bola listrik pijar tepat di atas kepala mereka dan ia pergi ke dapur. Di dalam kebingungannya, ia mempersiapkan makan malam sebelum orangtuanya datang. Ia berangan-angan begaimana rasanya jadi seorang istri, istri yang hanya tinggal di rumah dan mengurus suami. Tawaran itu cukup menarik hatinya, tapi ia takut akan umurnya yang masih muda, 18 tahun sehingga suatu saat nanti mereka bisa cerai karna ia belum sanggup mengurus rumah tangga. Ia tarik napas dalam-dalam pertanda bingung.

Kedai tuak Pak Menet yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Rinti semakin malam makin ramai saja, apalagi malam minggu seperti itu. Nyanyian mereka semakin jelas kedengarannya, pertanda mereka sudah mulai mabuk. Saat-saat seperti itulah yang mereka inginkan, seolah masalah mereka telah lenyap, sisanya hanya kesenangan walau hanya untuk sesaat.

Mardi dan Poltak berbisik-bisik sejak ditinggal Rinti. Mimik wajah mereka cukup serius tanda ada sesuatu yang penting sedang mereka bicarakan dan ingin tiada orang lain yang mendengarnya. Selelah melirik ke kiri dan kanan, Mardi seolah memberi aba-aba pada Poltak untuk bergerak. Poltak segera mengelilingi rumah Rinti sambil menaburkan sesuatu yang ia ambil dari kantongan plastik di tangan kirinya. Rupanya pemilik mata-mata merah menyelidik tindakan kedua pemuda itu dari kedai tuak Pak Menet. Tindakan kedua pemuda itu membuat mereka curiga. Nyanyian mereka jadi terhenti sama sekali.

“Hoi! Anak muda apa yang sedang kalian lakukan?” Salah seorang dari pemilik mata-mata merah itu berteriak. Mardi dan poltak terlihat terkejut, sadar tindakan mereka telah kepergok. Mereka diam mematung.

Para pemilik mata-mata merah semakin curiga karna merasa pertanyaan yang terlontar itu tidak digubris sama sekali. Beberapa orang turun mendekat keduanya dengan langkah sedikit terhuyung dan memeriksa apa yang mereka taburkan, ternyata bunga-bunga.”

“Dimana kampung kalian?”

“Di balik gunung Simarjarunjung,” jawab Mardi gugub.

“Apa namanya he?”

“Kampung Pardean.”

“Ini bunga apa dan untuk apa?” yang lain ikutan menginterogasi.

“Hayo jawab!!! Kenapa jadi diam kayak batu!”

Dibentak seperti itu, mereka bukannya menjawab, malah mereka menundukkan kepala, terdiam. Mendengar keributan itu Rinti muncul. Ia telah mendengar sebagian dari percakapan mereka. Ia tak tahu berbuat apa dan ia juga ingini tahu untuk apa sebenarnya bunga-bunga itu mereka terbarkan di sekeliling rumahnya karna itu ia memilih diam.

“Hayo kita bawa mereka kesana,” kata seorang yang lebih tua sambil menunjuk kedai tuak Pak Menet.

“Hayo kawan!” Pekik mereka.

* * *

Kedua pemuda itu duduk bagai terdakwa yang siap menerima dakwaan. Anehnya, keduanya tak mau buka mulut untuk menjelaskan dan membela perbuatannya.

“Bicaralah saudara, sebelum kami kehilangan kesabaran!”

“Dan kehilangan kontrol,” sela yang lain yang sudah mabuk.

Sinar mata pemilik mata-mata merah itu mulai menyala melihat kebisuan kedua pemuda itu dan mereka saling berpandangan.

“Bunga-bunga ini nampaknya mirip dengan bunga-bunga yang ditaburkan di sekeliling kandang kerbauku yang hilang, yah mirip sekali!” Teriak Pak Ronta. Percikan api kemarahan mulai timbul di mata dan hati mereka.

“Mungkin merekalah para pencuri kerbau itu, lagipula mengapa mereka diam saja,” Salah seorang dari mereka menyimpulkan, menambah kecurigaan terhadap keduanya. Pencuri kerbau sangat mereka benci, yang bisa melenyapkan kerbau mereka dalam sekejap. Para pencuri telah meresahkan mereka, membuat tidur mereka terganggu.

“Mari kita pukul saja supaya buka mulut! Pekik yang lain.

“Hajar! Pukul!”

Mereka mulai melayangkan bogem mentah ke tubuh kedua anak muda itu. Sayangnya mereka tetap memilih bungkam dan para pemilik mata-mata merah semakin marah.

“Pencuri kerbau... hajar!” Seru yang lain, membakar api amarah mereka. Mereka mulai hilang kendali, ditambah pengaruh tuak membuat mereka makin berani. Potongan-ptotongan kayu mulai bicara meramai-ramaikan kedua tubuh malang itu. Tubuh yang mulai memar dan meneteskan air mata dan meneteskan warna merah. Bentuk wajah yang mulai tak berbentuk dihajar pukulan-pukulan yang bertubi-tubi.

Beberapa saat kemudian orang-orang mulai berdatangan, makin ramai. Telah tersiar khabar di kampung itu bahwa dua pencuri kerbau terlah tertangkap. Tanpa dikomando sebahagian besar penduduk berdatangan, membawa alat pukul masing-masing. Mereka menelan mentah-mentah berita itu. Dan mereka terlibat dalam drama pembantaian itu.

Sebahagian para ibu tidak tahan menyaksikan kedua tubuh yang tak berdaya itu. Mereka mencoba menghentikanna, mereka menangis histeris dan menanggalkan pakaian mereka. Namun menemui kegagalan juga. Teriakan para pemilik mata merah bagai di medan perang saja.

“Pencuri! Biadab!”

“Habisi! Hajar!”

“Bunuh!”

Semua makin gila, memukul, menendang, meludahi sesuka hati mereka. Mobil-mobil yang melintas berhenti, supirnya turun dan ikut menggebuki. Salah seorang dari mereka malah menggilas kedua tubuh yang malang itu di bawah roda-roda mobilnya. Darah muncrat dan mengalir kemana-mana. Para ibu dan anak-anak pergi meninggalkan tempat pembantaian itu sambil menangis karna tak tahan menyaksikannya.

Rinti tak menyangka akan berakhir seperti itu, penduduk kampungnya sungguh kejam. Rinti tak sadarkan diri menyaksikan kekejian itu berlangsung di depan matanya, ia pingsan di teras rumahnya.

Manusia-manusia berhati setan itu rupaya belum puas. Iblis telah menguasai hati mereka untuk membantai sesamanya. Mereka mengambil sepeda motor pemuda malang itu, menempatkan tubuh-tubuh tak bernyawa itu di atas sepeda motornya, minyak disiram. Kemudian api menyala melahap ke dua tubuh itu, bau tubuh gosong memenuhi tempat itu.

Mobil polisi datang setelah semuanya berlalu, mereka terlambat. Semua penduduk yang ikut dalam pembantaian itu melarikan diri, tak ada seorang pun yang bertanggungjawab. Polisi tinggal mengumpulkan mayat yang nyaris hangus itu, tanpa menangkap pelakunya.

Sejak kejadian yang mengenaskan itu, Rinti telah berubah, hilang ingatan tak mampu menerima kenyataan. Dengan rambut panjangnya yang tak terurus, dan bajunya yang compang camping ia berjalan berkeliling di sekitar kampung itu. Ia terlihat bahagia dengan dunianya yang hanya bisa dimengertinya sendiri. Lihatlah ia tersenyum.

Deliserdang, Mei 2007


Tidak ada komentar: