Kamis, April 17, 2008

Kasiana

KASIANA

By Sondang Malau

Rasa kasihanlah yang menyelimuti hatiku setelah berkenalan dengan Kasiana. Aku mempertanyakan ketidakadilan dari Sang Pencipta pada gadis ramah dan baik itu. Dosa apa yang dilakukannya sampai ia menanggung beban seberat itu. Ia tidak pernah melihat mahluk ciptaan Allah, sinar mentari berkilauan, indahnya warna-warni bunga-bunga, pepohonan yang berkerumun hijau, gunung biru di kejauhan, berbagai jenis binatang yang beraneka ragam dan lucu-lucu. Ia hanya bisa menyentuh benda-benda yang berwujud yang berada di dekatnya. Ia hanya bisa membayangkan saja akan segala sesuatu. Malang nasibnya karna dilahirkan tanpa pelita tubuh. Buta. Apa kesalahannya?Dosa siapakah yang ditanggungnya?

Apalagi yang bisa diperbuatnya kini. Aku menyangsikan segala tindakannya.Ya Apa ia bisa mengikuti perkuliahan di kampus kami yang menggeluti sastra Inggris. Orang normal saja masih mengalami kesulitan mempelajari bahasa asing itu, apalagi temanku yang malang itu. Aku memandangnya dengan sebelah mata. Apa semuanya itu hanyalah tindakan sia-sia saja, memboroskan waktu dan biaya. Sekali lagi aku kasihan benar padanya.

Kemudian aku tahu bahwa Kasiana adalah putri dari keluarga kaya di kota ini. Setiap hari ia diantar ke kampus dengan BMW dengan supir pribadi. Ia harus dituntun ke kelas oleh teman-teman dekatnya jika akan mengikuti perkuliahan. Dan di kelas ia selalu sibuk membuat catatan dengan alat khusus. Ia hanya mengandalkan pendengaran sedangkan kami bisa melakukan apa saja, melihat tulisan dosen di papan tulis, membaca buku teks jika belum mengerti dengan penjelasan yang diberikan dosen. Kuperhatikan diriku dan teman-teman lainnya hanya bermalas-malasan. Mencatat malas, membaca apalagi, malah mendegarkan dengan agak terpaksa. Kalau tidak bisik-bisik di bangku belakang, semua ngantuk-ngantuk dan larut dalam angan-angan. Sedangkan Kasiana tetap serius mendengarkan dan membuat catatan sementara kami hanya ogah-ogahan.

Kasiana selalu hadir mengikuti kelas reguler sampai kelas pengganti, tidak pernah mungkir. Sementara teman-teman malas ke kampus atau datang ke kampus tapi berleha-leha di warung-warung di depan kampus. Mereka ngobrol tak karuan atau main judi mempertaruhkan uang kuliah mereka. Sungguh bertolak belakang, dan sulit diterima akal sehat. Nyatanya tubuh normal tidak menjamin untuk selalu melakukan hal-hal baik, malah sebaliknya sering menjadi batu sandungan yang menghanyutkan. Kalau begini siapa yang patut disalahkan?

* * *

Pagi itu Pak Arnol akan membagikan hasil ujian kami. Kami semua menanti dengan was-was, membayangkan nilai buruk yang mungkin kami dapatkan. Kedatangan dosen killer dengan wajah kerasnya sejak masuk kelas memperburuk situasi itu. Kontan saja kami merasa takut.

“Bapak kecewa pada kalian…” Katanya tanpa semangat sambil memandang mata kami satu persatu. Kami tertunduk seolah menyesali diri, tidak berani menatap tusukan matanya.

“Sepertinya Bapak percuma saja setiap hari berkoar-koar di depan ini. Mata kalian terus melotot macam mata belalang tapi pikiran kalian entah mengembara ke dunia mana. Waktu belajar tidak ada seorang pun yang bertanya. Seolah-olah semuanya sudah mengerti. Bapak tidak mengerti…

Bagaimana kalau kita pulang saja? Macam tak ada artinya Bapak bekerja keras mengajari kalian selama ini. Bapak makan kapur sepanjang hari, tak membuahkan apa-apa. Apa otak kalian terbuat dari batu? Tak ada seorang pun di atas nilai lima kecuali Kasiana. Ia dapat nilai sembilan, hampir sempurna. Apa kalian tidak memperhatikan dirinya? Kemana-mana ia harus dituntun, tapi ia bisa sementara kalian yang memiliki segalanya setengahnya pun tak sanggup. Apa yang salah pada diri kalian?...Hei kenapa diam saja! Katakan apa Bapak tak becus mengajari kalian? Bueto maju ke depan!”

Mendengar namaku disebut aku jadi terkejut dan buru-buru maju. Terpaksa aku memberanikan diri, berjibaku. Tetapi aku terlihat bodoh berdiri di hadapan teman-teman. Kulirik Pak Arnol dari sudut mataku.

“Ayo Bueto, menurutmu apa yang seharusnya kalian lakukan?” Ia langsung menembakku, sekan menelanku bulat-bulat. Aku berpikir cepat untuk menyelamatkan diri dan jika masih mungkin menyelamatkan sebangsaku.

“Kami harus bertobat Pak!” Memang itulah satu-satunya pikiran yang terlintas di benakku. Tapi di luar dugaanku Pak Arnol tidak marah. Mungkin pendapatku mengenai sasaran yang diinginkannya. Ia sedikit tersenyum memandangiku dan kelihatan agak puas.

“Menurut Bueto kalian harus bertobat. Ayo ulangi apa yang Bueto katakan tadi!” Ia mengejek kebohan kami.

“Kami harus bertobat Pak!!!” Kelas begema bagai di neraka.

“Nah, semuanya bersalam-salaman pertanda kalian telah menyadari kesalahan kalian dan berkeinginan baik untuk bertobat!”

Kami pun bersalam-salaman dengan hikmat seperti tahun baruan. Setelah kelas hening kembali aku kembali ke bangkuku. Kertas ujian kami dibagikan dan hasilnya memang mengecewakan. Semua itu memaksaku merenungi diri, menanyakan pada diriku apa sebenarnya yang salah. Mengapa Kasiana, gadis yang justru berkekurangan mampu, dan satu-satunya yang bisa. Semua bagai teka-teki tak terjawab, membuat pikiranku makin kusut. Dan mulailah terbetik rasa kagum buat Kasiana, ternyata dalam dirinya bersinar mutiara yang tak sanggup kami imbangi sebagai manusia sempurna.

* * *

Kasiana seperti biasa, selau ramah pada semua orang. Ia punya teman banyak. Ia suka ternyum pada orang-orang sempurna, yang tidak pernah dilihatnya. Membuatku malu pada diri sendiri, karna dalam pergaulanku wajahku sering murung dan merasa kurang percaya diri yang memiliki pelita tubuh yang jarang kusyukuri. Sementara itu aku kesulitan bergaul, mungkin karena wajahku yang sering murung atau karena prasangka burukku yang berlebihan pada orang di sekelilingku. Aku sering kesepian di antara keramaian orang, membuat cara pandangku terhadap hidup ini cenderung negatif dan telah meracuni pikiranku. Aku selalu merasa cemas berada di antara teman-temanku membuatku tidak nyaman berlama-lama dengan mereka. Mungkin cara pandang negatif itulah yang membuatku tidak pernah mensyukuri apa yang kumiliki. Aku jadi malu melihat Kasiana yang tidak pernah sepi senyum, bersenda gurau dengan teman-teman yang selalu mengelilinginya.

“Halo Kasiana pa khabar?” Sapaku sore itu sepulang kuliah.

“Baik, eh Bueto!” Pendengaran dan ingatannya tajam juga rupanya.

“Na… dulu kau bilang suka nulis puisi, benarkan?”

“Ya trus kamu mau apa?” Senyumnya tak pernah redup.

“Gini na, tulis dong puisi untukku, aku suka baca puisi.”

“Mm baiklah, besok ya!”

“Ya, makasih ya Na…kamu baik sekali.”

“Ah biasa aja friend…”

“Sampe jumpa besok…”

“Oke..”

Aku pulang dengan penuh rasa gembira. Dan hari berikutnya Kasiana menepati janji. Ia memberikan sepuluh lembar puisinya ketika pagi itu kami ketemu di kelas. Puisi itu diketik rapi pakai mesin tik manual di atas kertas folio. Aku benar-benar kagum, apalagi setelah membaca semua puisinya di kamarku malam itu. Ada nada sedih yang dalam menggores hatinya dan juga rasa pasrah pada Tuhan dalam baris-baris puisinya. Ia berserah diri sepenuhnya pada Tuhan dan hatinya masih dipenuhi rasa syukur atas hidup yang didapatkannya. Ternyata ia menghayati hidup ini sepenuhnya dan aku kagum pada keteguhan hatinya menerima diri. Sedangkan kurasakan itu semua bertolak belakang dengan diriku.

* * *

Waktu berlalu tiada terasa kini aku berada di ujung masa kuliahku. Semester akhir di fakultas Sastra. Aku masih mengikuti beberapa mata kuliah sebelum menyusun tugas akhir, menyusun skripsi. Aku memang sudah bisa memulainya karna persyaratannya telah terpenuhi. Malangnya aku sama sekali tidak memulainya atau lebih tepatnya karna aku merasa belum siap dan masih merasa gamang. Waktu luang cukup banyak tapi tidak kumanfaatkan dengan baik. Aku tetap malas karena merasa belum mampu sehingga waktuku banyak kuhabiskan membaca koran di perpustakaan yang tiada hubungannya dengan skripsi.

Waktu tetap melaju entah apapun yang kulakukan, dan rasa penyesalan mulai merayapi hatiku. Penyesalan yang selalu datang terlambat. Aku merasa bersalah karena waktuku telah kusia-siakan. Andai saja…maka aku sudah tamat dan cari kerja. Hanya bisa berandai-andai. Aku frustasi dan benar-benar takut kini.

Sementara itu, sangat di luar dugaanku Kasiana telah menyelesaikan skripsinya dengan baik. Ia telah lulus mempertanggungjawabkan skripsinya di depan tiga dosen pengujinya. Sebuah mujijat. Sungguh amat sukar dimengerti tapi sungguh-sungguh terjadi. Sekali lagi aku hanya bisa terpana dan merenungi diri. Bagi Tuhan tiada yang mustahil.

Mahasiswa seangkatan kami, Kasianalah yang terbaik dan tercepat menunaikan tugasnya sebagai mahasiswa. Tiada yang menyangka kemampuan luar biasa yang dimilikinya yang terlemah secara fisik. Siang itu kami semua terharu setelah mendengar keberhasilannya mendapatkan nilai A dalam mempertahankan skripsinya. Nilai istimewa yang bagi mahasiswa normal saja sulit mencapainya.

“Selamat ya Na!” Pujiku tulus.

“Oh Bueto kau rupanya. Kapan maju?” Tanya sambil tersenyum.

“Aku?” Tanyaku bego pura-pura tidak tahu maksudnya.

“Ya…” Tembaknya.

“Mmm…mungkin masih lama.” Jawabku singkat.

“Lho kenapa? Skripsimu udah sampe dimana rupanya? Paling tidakkan uda siap setengahnya…”

“Setengah? Mulai aja belum.” Kataku tak bisa mengelak.

“Hah masa?”

“Eh udah ya aku pulang duluan ada janji. Sampai jumpa!” Potongku kurang sopan takut akan kelanjutan pembicaraan itu. Habis mau apa lagi, kalau diterusin pun tak ada gunanya lagi untukku kini, malah akan semakin menyiksa hati manusia yang sempurna ini! Rasa bersalah mencabik-cabik hatiku, manusia sempurna yang tak tahu diuntung ini. Penyesalanlah selalu akhir dari kemalasan ini.

“Selamat ya Na…”

“Selamat ya Na…” Kawan-kawan turut menyampaikan pujian padanya. Dan disanalah terlihat jelas kelemahan manusia-manusia sempurna yang sama seperti diriku. Apa mereka juga masih bisa merasakan apa arti malu?

Aku tak sanggup lagi menahan celaan dari hati ini. Aku terus melangkah bagai pencuri yang takut ketahuan. Takut suara gemuruh hatinya didengar orang lain. Ditengah gemuruh hati yang tak henti-hentinya mencela, mengutuk, dan memaki diri terdengar pelan-pelan di hati “Selamat Douka yang malang…si manusia sempurna yang malang. Pemalas!”

Tanpa sadar aku sudah tiba di kamarku dan menghempaskan diri ke atas kasurku yang sudah setengah kempes, kawanku bermalas-malasan selama ini. Teringat kembali apa yang kuucapkan ketika Pak Arnold menanyakanku tentang apa yang seharusnya kami lakukan. “Bertobat Pak! Bertobat! Bertobat!!! Hah kata-kata kosong dari manusia-manusia malang. Dan sepanjang malam itu aku benar-benar tak bisa tidur sedetikpun.

Hati dan pikiranku benar-benar buta.

* * * *

Guru Bebek


Dalam salah satu kuliahku di akta IV, sang Dosen pernah menyampaikan hal ini. Bahwa dalam mengajar seorang guru jangan hendaknya memakai kata-kata yang umum atau semacam olokan yang dipakai berulang-ulang. Bisa berupa kata, misalnya 'sontoloyo, ideot, bodoh, telmi'. Dan kalau lebih jelasnya coba anda perhatikan dalam film 'Bajai Bajuri' ada seorang pemeran yang sering mengatakan 'maaf...maaf...' setiap mau bicara selalu mengatakannya.

Dosen tersebut mengatakan kalau seorang guru sering mengatakan hal-hal yang sama maka bukan tidak mungkin apa yang dikatakannya menjadi bumerang yang menghantam dirinya sendiri. Boleh kita pakai kata-kata tersebut tapi jangan berulang-ulang atau hampir setiap betatapan muka di kelas si guru selalu mengucapkannya. Ini sering terjadi tanpa sadar jika si guru sedang marah atau kesal terhadap siswanya. Mungkin karna siswa tidak bisa mengerjakan suatu soal atau tidak bisa menjawab pertanyaan yang dianggap cukup gampang. (tentu saja menurut si guru sendiri).

Setelah mendapat pelajaran ini dari si dosen tersebut aku baru sadar mengapa guru-guru ketika aku sekolah dulu mempunyai nama-nama khas yang dibuat oleh anak-anak (siswa). Seperti ada seorang guru sejarah kami, kami namai Pak Iching karna beliau sering mengucapkan dinasti Iching dan dia sering mengolok-olok siswa dengan memakai Dinasti Iching, misalnya 'ketinggalan jaman kau seperti Dinasti Iching' dan ada lagi guru biologi, yang kami buat namanya Pak Bakanae, kenapa karna dia sering membuat kata-kata dalam istilah biologi (bahasa latin). Kan biasa nama-nama pohon dan binatang punya nama latinnya sendiri, nah si guru ini kadang mengejek kami dengan istilah-istilah latin tersebut. Jadilah namanya si Bakanae dan aku sendiri tidak tahu apa arti nama tersebut tapi ikut-ikutan mengucapkannya. Misalnya kalau ada guru lain yang tanya, “Siapa guru kalian sekarang?” dan kami jawab dengan serentak “Pak Bakanae atau Pak Iching.”

Dan ada lagi seorang Pastor kami yang sering memberikan kata sambutan setiap upacara bendera hari Senin. Beliau suka mengucapkan kata-kata dengan begitu panjangnya, maksudnya mungkin supaya lebih tegas didengar. Misalnya ketika memulai kata sambutan ia biasanya mengucapkan begini, “Selamat paaaaaaagiiiiiiiiiii anak-anaaaaaaaaaaaaaaaaak sekaliannnnnnnnnnn.”

Karna sering mendengar seperti ini maka sudah menjadi kebiasaan kami juga menjawabnya dengan begini, “Selamaaaaaaaaaaaat pagi pastoooooooooooooor.....” Dengan serentak dan biasanya kami langsung tertawa dan beliau senyum-senyum aja dengan balasan kami dan semuanya senang-senang aja.

Dan ini baru terjadi di sebuah sekolah dimana adikku bekerja sebagai guru. Dia menceritakan mengenai temannya, seorang guru cewek. Katanya ketika adikku mengajar, ia mendengar kelas sebelahnya ribut, dia langsung pergi kesana dan menanyakan siapa gurunya, lalu mereka jawab serentak.

Ibu bebek Pak!!!”

“Hah.... siapa itu? Masa guru kalian bebek.... berarti kalian anak-anak bebek ya?”

Semua senyum-senyum. Adikku sering mendengar bagaimana si guru cewek itu mengajar di kelas sebelah. Ternyata si ibu tersebut sering mengolok anak-anak dengan memakai kata 'bebek'. Misalnya kalau siswa berjalan dengan lambat ke depan kelas ketika dipanggil untuk mengerjakan soal di papan tulis maka dia mengatakan, “lambat kali jalanmu macam bebek aja”. Dan ketika siswa-siswa mulai ribut si guru mengatakan, “mulutmu seperti mulut bebek aja tidak bisa diam, bek..bek...bek... terus-terusan.” Nah karna hampir setiap hari si guru tersebut masuk di kelas dia mengatakan kata yang itu-itu saja, maka kata-kata itu berbalik sendiri padanya dan jadilah dirinya punya nama baru “Guru Bebek.”

SSSSt guru bebek sudah datang jangan ribut macam mulut bebek” Seorang teman berseloroh ketika sang guru akan masuk kelas dan yang siswa-siswa lain tertawa mendengar kelakar tersebut. Dan ketika si guru masuk dan melihat suasanya kelas agak riuh dan dia spontan bicara, “Dasar bebek semua....” Mmmm

Sondang Malau

Medan

Mimpi jadi Nyata


Hari Minggu itu sebelum pulang ke Medan aku merasa pinggulku sakit dan aku ingat sebelum libur tahun baru kemarin ketika main bulu tangkis aku pernah terjatuh dan terduduk di lapangan bulu tangkis yang berlantai semen itu. Waktu itu aku mencoba menjangkau bola yang terlalu jauh ke belakang dan terlampau tinggi. Dan badanku miring, kepala dan setengah badan miring ke belakang sedangkan bagian kakiku masih ketinggalan di depan. Aku berhasil menjangkau bola yang keterlaluan itu tetapi aku tidak berhasil menjaga keseimbangan diri maka aku jatuh terduduk dan tanganku tidak sempat menahan jatuhnya badanku karna tanganku baru saja mengayunkan raket memukul bola.

Aku jatuh terduduk dan untuk sementara aku kesulitan bernafas tetapi mungkin karna agak malu pada lawan mainku aku langsung berdiri kembali dan menahan rasa sakit dan melanjutkan permainan. Dan saat itu memang aku ngotot mau memenangkan pertandingan dengan salah seorang kawan yang kemampuannya masih di atasku. Bayangkan selama dua bulan lebih kami main bulu tangkis aku tidak pernah menang.

Malam setelah pertandingan dimana aku jatuh terduduk itu barulah aku merasakan sakit, pinggangku sakit dan badanku semua sakit dan pegal. Tapi aku tidak memperdulikannya, malah aku tidak terima kalau aku kalah hari itu sebab aku waktu itu sudah tinggal 2 poin lagi supaya bisa menang dan ternyata dia masih bisa menyusulku dan kemudian mengalahkanku. Malang nasibku sudah kalah dan terjatuh pula.

Jadi itulah sakit yang kualami dan ketika hendak kembali ke Medan dari liburan tahun baru aku merasa kembali nyeri di pinggulku dan pada posisi kaki tertentu kakiku tidak bertenaga alias seperti lumpuh. Maka aku memutuskan pergi ke tukang pijet dan pada pagi hari Minggu itu aku dipijet. Tukang pijet mengatakan bahwa aku sudah terlalu lama memberitahukan bagian badanku yang sakit tersebut seharusnya lebih baik pada saat atau beberapa saat setelah kejadian itu langsung dibawa ke tukang pijet. Dan dia bilang sakit seperti ini berbahaya dan dia memberikan beberapa contoh yang mengalami kejadian yang hampir serupa dan ada orang jalannya jadi timpang atau tidak bisa berjalan sama sekali. Pendeknya sakit seperti ini sangat berbahaya hingga aku jadi takut juga.

Pada saat ibu tersebut memijet maka aku pancing dia supaya ada bahan pembicaraan dan aku katakan bahwa aku tertarik menjadi tukang pijet karna ayahku sering minta dipijet. Dan kemudian apakah dibutuhkan pelatihan untuk menjadi tukang pijet. Jawabannya tidak. Kemudian aku tanya darimana dia tahu bagaimana caranya memijet dan jawabnya dari mimpi, sungguh aneh dan kemudian tanpa ditanya lagi dia pun berkisah bagaimana dia bisa menjadi tukang pijet.

Awalnya anak bungsu yang disayanginya sakit demam tinggi dan ketika ditanya mengapa anaknya sakit tetapi anaknya diam saja. Ketika akan di bawa ke puskesmas (di kampung) ibu tersebut tidak ada uang, dulu biaya pengobatan katanya mahal. Jadi si ibu ini tidak tahu harus pinjam kemana sedangkan kondisi anaknya makin kritis. Dia berdoa memohon pertolongan dari Tuhan supaya diberikan jalan. Dan dia menangis di kamar dan kemudian tertidur.

Saat tertidur, dia pun bermimpi didatangi seorang nenek berbaju putih dan menanyakan mengapa dia bersedih dan dia katakan kalau anaknya sedang sakit dan dia tidak punya uang untuk pengobatan. Lalu si nenek ini berkata,”tenanglah, semua pasti akan beres” dan si Nenek ini mengatakan kalau anaknya sakit karna jatuh dari pohon mangga yang lumayan tinggi. Tetapi anak itu takut memberitahukannya karna takut dimarahi. Jadi si nenek ini mengajari si ibu tersebut bagaimana cara menyembuhkan anaknya yakni dengan memijet. Jadi si ibu ini diajari cara memijet (bagian mana yang harus dipijet supaya anaknya sembuh) dan dia juga diajari (praktek) seperti apa urat tubuh manusia yang terkilir, tahu membedakan mana yang sakit dan mana yang tidak artinya dia jadi menguasai urat-urat tubuh manusia. Katanya si nenek ini juga langsung membuat dirinya jadi bahan praktek si ibu tersebut sampai mahir. Nah ketika dia terbangun, dia terkejut dengan mimpinya yang aneh dan ia ingin mengetahui kebenarannya.

Ketika dia tanya apakah anaknya itu sakit karna jatuh dari pohon mangga dan anaknya tersebut mengiayakan, “kok tahu mama” jawan anaknya heran. “Maaf ya ma kemarin aku takut dimarahi mama makanya tidak aku beritahu. “Ya udah tenanglah, biar mama obati.”

Si ibu mempraktekkan apa yang dijari si nenek berpakaian putih itu, dan dia memijet anaknya. Dan tidak berapa lama anaknya sembuh. Anaknya sangat berterima kasih pada ibunya. Dan sejak itu si ibu itu menjadi tukang pijet dan aku percaya akan hal itu ketika dia menunjukkan bagian mana pinggulku yang sakit dan mana urat di kakiku yang berhubungan dengan sakit tersebut.

Perbedaan antara tukang pijet yang sebenarnya dengan yang tidak katanya kalau tukang pijet yang sebenarnya tidak menentukan tarif biaya pijet tetapi tergantung kemurahan hati yang dipijet sedangkan yang tidak, menentukan tarif tertentu. Aku jadi berhayal menjadi tukang pijet melalui mimpi setelah mendengar kisah bagaimana si ibu tersebut jadi tukang pijet. Dan sampai sekarang pinggulku tidak sakit lagi.

Sondang Malau

Medan

Pikiran apa badan yang sakit?


Tahun baru kemarin aku rasakan tidak terlalu menarik seperti tahun-tahun baru yang sebelumnya. Tetapi yang paling penting adalah kami sekeluarga bisa berkumpul kembali. Seminggu sebelum tahun baru atau pada masa-masa Natal kami sudah berada di kampung kelahiran kami.

Aku tidak menyangka abangku yang kini bekerja di Jakarta ternyata pulang kampung dan itu aku tahu setelah aku sampai di kampung. Sebenarnya bisa dikasih tahu lewat sms tapi kali ini tidak ada pemberitahuan sama sekali.

Sekitar dua tahun yang lalu dia pergi dari kampung dan mencoba mencari pekerjaan di Jakarta dan dia tidak bermodalkan nekad saja tetapi karna dia sudah sarjana di teknik mesin. Dan ketika berangkat dulu badannya kurus, maklum karna dia pernah sakit ginjal karna terlalu banyak minum-minuman keras dan sedikit minum air putih. Jadi dia sempat masuk rumah sakit (ketika masih kuliah dulu) kemudian pulang ke kampung di Sumatera Utara untuk pemulihan. Walau sudah pulih kembali namun badannya masih tetap kurus.

Dan ketika bertemu dengannya sore, aku langsung menyalaminya dan berseloroh “kok kurus kali, apa abang sakit?” “Gak” katanya singkat sambil tersenyum. Dan seminggu sebelum tahun baru kami sudah kumpul di rumah.

Dan orang kampung jarang istirahat, selama seminggu itu kami ke ladang membantu orang tua, karna sudah lama tidak ke ladang jadi rindu juga. Tetapi pertama kali ke ladang bukannya langsung kerja, ayahku malah mengajak kami mancing di sawah. Abangku yang dari Jakarta, adikku yang sudah kerja di Medan, ayahku dan aku mancing di sawah yang cukup jauh di jurang itu. Dan kami memancing dengan santainya dan karna pancing kami tidak dilirik ikan maka tentu saja membuat agak malas. Maka abang dan ayahku sudah mengantuk dan tidur di pematang sawah sedangkan aku dan adikku masih tetap memancing sambil cerita mengenai pekerjaan kami di kota, keanehan-keanehan yang kami alami di lingkungan kerja. Sesekali mata kail adikku dimakan ikan mujahir dan mendapat ikan sampai enam ekor sedangkan aku sore itu cuma dapat seekor ikan mujahir yang lumayan kecil. Sedangkan abang dan ayahku ketika bangun langsung mencoba pancingnya kembali dan seperti biasa tidak ada ikan yang mau pada kail mereka karna hari sudah sore, ayah mengajak kami pulang.

Abangku yang baru pulang dari Jakarta ini, badannya kurus dan kulitnya hitam karna dia memang orang lapangan yang setiap kerja dibakar matahari. Setiap kali famili yang datang ke rumah atau berjumpa dengannya di jalan langsung berseloroh, “Kok kurus kali kau, apakah kau sedang sakit?” dan seperti biasa dijawabnya “tidak.”

Begitulah setiap hari, ketika ada famili yang lain baru melihatnya pertama kali akan melemparkan kalimat dan pertanyaan yang sama,”Kok kurus kali kau, apa kau sakit?” dan begitulah sejak sebelum tahun baru dan juga seminggu setelah tahun baru. Dan memang aku selalu ada di rumah ketika libur selama dua minggu tersebut (pada malam harinya).

Ayahku sering meledek abangku dengan perkataan seperti ini, “Benar, kau memang sedang sakit, bagaimana kalau kau suruh saja supaya kakakmu mengimfusmu?” kata ayahku sambil tertawa. Kakakku memang seorang perawat di kampung itu, “Supaya kau makin sehat dan berat badanmu bertambah.”

Dan mungkin karna sering mendengar pertanyaan dari para famili yang menanyakan apakah dia sedang sakit maka dia mungkin jadi berpikiran kalau dia sedang sakit, jadi malam itu dia langsung menelepon kakak dan mengatakan supaya membawa peralatan infus dan minta diinfus. Dan aku ingat bagaimana dia menelepon seperti berseloroh juga. Ternyata besoknya memang benar kakak membawa peralatan infus dan dia diinfus sampai 3 botol. Pertama aku kira cuma main-main aja, karna selama ini aku berpikir orang sakit yang diinfus adalah orang-orang yang penyakitnya sudah parah, ternyata tidak. Menurut kakakku kalau diinfus bisa meningkatkan daya tahan tubuh dan juga bisa menambah berat badan. Dengan penjelasan seperti itu aku jadi berpikiran bagaimana kalau aku diinfus juga karna badanku juga kurus.

Setelah abangku diinfus aku lihat tidak ada perobahan pada badannya tapi katanya dia merasa lebih baik. Jadi cuma perasaan saja yang berubah rupaya. Dan ketika hari Rabu (masih dalam suasanya tahun baru) kami pergi memancing ke Danau Toba naik sepeda motor perubahan terpampang jelas ketika kami sudah sampai di Danau itu, wajahnya tampak lebih gemuk tetapi hanya pipi sebelah kanan, seharusnya dulu ini terjadi setelah dia diinfus tapi sekarang kok aneh. Menjawab keheranan kami dia menceritakan bahwa pipinya ternyata disengat lebah sampai dua kali ketika naik motor. Bengkaknya lumayan besar juga. Akhirnya dia berkata dengan seloroh, “Sekarang aku sudah gemuk kan he..he..?” Wajahnya gemuk seperti itu sampai dua hari dan badannya katanya agak demam.

Ketika malam Minggu (besoknya aku pulang ke Medan) ayahku kembali berseloroh, “Apakah kau masih sakit juga walau sudah diinfus?” Lalu abangku menjawab,” Setiap hari setiap orang mengatakan aku sakit, sehingga seolah-olah aku merasa benar-benar sakit.” dan dia bertingkah seperti orang sakit (duduk loyo dan tidak tidak bergairah). Melihat ini aku jadi tertawa dan mengatakan dalam hati sebenarnya tubuh kita sering tidak sakit tetapi pikiran kitalah yang sakit karna dipengaruhi oleh perkataan orang lain yang tidak baik, dengan pikiran bahwa kita sakit maka otomatis badan kita juga mengikuti apa yang kita percayai. Jadi jangan pernah berpikir bahwa kamu sakit atau dipengaruhi oleh pikiran buruk orang lain. Tetaplah berpikiran positif.

Sondang Malau

Medan