Jumat, April 18, 2008

Terpaksa Kawin

“TERPAKSA KAWIN”

By: Sondang Malau

Para perawat dan dokter sibuk mengurusi pasien-pasien sekamar Bapakku di rumah sakit itu. Seorang dokter memeriksa tubuh pasien yang seluruh tubuhnya dipenuhi bintil-bintil merah. Kemudian memberi penjelasan mengenai penyakit itu dan memberi secarik kertas resep pada keluarga yang menjaga si pasien untuk membeli obat dengan segera. Kemudian ia pergi pada pasien lain yang tubuhnya begitu kurus, yang terlihat hanya tulang-tulangnya yang dibalut kulit tipis. Si pasien mencoba tersenyum pada dokter yang tersenyum kepadanya.

“Putriku Peniras…lihat Bapak nak! Bapak sebentar lagi akan pergi menghadap Tuhan yang di atas sana. Para dokter sudah angkat tangan pada penyakit kanker Bapak yang ganas.” Tiba-tiba perkataan Bapak menyentakkan perhatianku dari kesibukan-kesibukan di rumah sakit ini. Kembali pada Bapakku yang juga salah seorang pasien yang menempati ruangan ini. Akankah Bapakku akan sembuh? Sejam yang lalu dokter mengatakan keadaan Bapakku yang sedikit kemungkinan akan sembuh. Air mata bapakku menetes membasahi pipinya yang cekung. Ibu hanya bisa diam dengan wajah murung memegangi tangan kiri Bapak di tepi ranjang.

“Pa… jangan berkata seperti itu. Percayalah pada Tuhan. Ia akan menyembuhkan bapak kalau kita berdoa meminta kepada-Nya dengan tulus. Iras akan selalu menemani bapak di sini.” Kataku menghibur bapak dan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Aku jadi sedih.

“Ras…bapak sangat menyayangimu. Bapak tak ingin kau menderita jika aku telah pergi. Kau satu-satunya anakku. Bapak ingin kau bahagia nak.”

“Iras mengerti Pa. Iras juga sayang Bapak. Berjanjilah Pa, Bapak tidak akan meninggalkan Iras dan Ibu kan?”

“Itu tidak akan terjadi nak, sebelum Bapak melihatmu bahagia aku tak akan meninggalkan kalian. Percayalah pada Bapak!” Bapak tersenyum dan membelai rambutku dengan rasa sayang. Ibu hanya bisa memandangi kami sambil memaksakan senyumnya.

“Ras…” Panggil Bapak lemah.

“Ya Pa.

“Bapak ingin kau bahagia sebelum Bapak pergi. Mau kah kau melakukan sesuatu untuk Bapak, sebelum Bapak pergi?”

“Iras menyayangimu Pa. Apappun Iras lakukan agar Bapak bisa sembuh kembali. Katakan Pa, apa yang bisa Iras buat untuk menyenangkan hati Bapak!” Kataku ingin tahu. Sepertinya Bapak menyembunyikan sesuatu yang penting.

“Begini anakku. Bapak memintamu untuk menikah dengan seseorang yang kelak bisa membuatmu bahagia…”

“Menikah?” Aku terkejut bukan kepalang, tak kusangka permintaan Bapak bisa jauh dari dugaanku semula.

“Ras…menikahlah dengannya demi Bapak dan demi kabahagianmu nanti. Bapak telah memilih orang yang tepat buatmu, yang bisa membuatmu bahagia dengan demikian arwah Bapak bisa tenang diatas sana.”

“Pa…Iras kan masih SMA, sebentar lagi Iras mau ujian EBTANAS. Mana mungkin Iras nikah semuda ini.” Aku mulai memberi alasan karna tak bisa kubayangkan apa artinya pernikahan bagiku. Aku masih terlalu dini untuk itu. Belum siap secara lahir dan batin.

“Ras, kau udah cukup besar untuk menikah nak. Kau menyayangi Bapakkan?”

“Tentu Pa Iras hanya merasa kurang siap!”

“Tenang saja Ras Bapak bisa mengaturnya.”

Tapi Pa siapa nanti yang akan menikahiku dan yang bisa membuatku bahagia.” Tanyaku penasaran siapa gerangan yang akan menjadi suamiku kelak. Kalau tampan sih aku tak peduli, sebagai seorang gadis aku sering membayangkan seorang pangeran dan bersanding dengannya di atas tahta seperti di cerita dongeng anak-anak. Mungkinkah hayalan itu bisa terwujud di jaman reformasi ini.

“Dia masih famili kita nak. Kau pasti sudah mengenalnya, ia sudah pernah datang ke rumah ini. Ia anak pamanmu yang tinggal di Jakarta, Tuajinus.”

“Hah!” Aku terkejut, napasku serasa terhenti di kerongkonganku. Ternyata bukan seorang pangeran yang akan mempersuntingku, malah sebaliknya Tuajinus sudah tua. Ia sudah berkepala tiga dan yang yang lebih mengejutkan lagi rautnya mukanya jelek. Dari dulu aku memang heran melihat Tuajinus yang belum menikah dengan umur setua itu. Aku hanya bisa menduga bahwa karna wajahnya yang jeleklah makanya tidak ada seorang gadis pun yang mau menikah dengannya. Sedang aku, bukan puji diri, teman-teman mengatakan bawa wajahku cantik sesuai dengan penilaianku sendiri. Dan memang cowok-cowok di sekolahku banyak yang naksir.

“Bagaima Ras kau setuju kan?” Pertanyaan Bapak membuyarkan lamunanku.

“Pa…mengapa harus dia. Umur kami kan terpaut jauh hampir dua puluh tahun. Bagaimana mungkin ini bisa tejadi.”

“Ras, Bapak mengenalnya dengan baik dan dia memang orangnya baik. Kau akan bahagia bersamanya, semuanya sudah ia miliki. Pekerjaan yang menghasilkan uang banyak dan rumah. Kau tak perlu cape lagi mencari uang. Kau hanya kan tinggal di rumah mengurus rumah tangga kalian.” Mata bapak berkilat-kilat, seolah-olah tiada suatu penyakit apapun di tubuhnya.

“Bu bagaimana ini?” Tanyaku pada ibu meminta dukungan darinya. Setelah kulihat wajah ibu, rasa-rasanya aku sudah berada pada posisi yang sulit. Wajahnya tanpa ekspresi.

“Nak dengarkanlah Bapakmu, ikutilah apa yang dia minta. Buatlah hatinya bahagia selagi masih bisa.” Ternyata Ibu juga mendukung Bapak tak memberiku kesempatan lagi untuk menikmati masa lajangku. Aku terpojok sudah. Dilain pihak aku memang mencintai Bapak dan tak mau kehilangannya.

Kisah Sitinurbaya seolah mulai menjelma dalam kehidupanku. Kisah itu telah menjadi kenyataan di zaman reformasi ini yang nyata-nyatanya tidak bisa mereformasi kisah zaman penjajahan itu. Zaman reformasi yang diteriakkan para pendemo di negeri ini hanya isapan jempol belaka dan semboyan kosong tanpa wujud. Tapi hidupku tak sepenuhnya sama dengan kisah itu, banyak bedanya. Keluargaku kaya tak kekurangan uang dan akar masalahnya juga beda, yakni karna Bapakku sakit keras dan menginginkanku hidup bahagia sebelum dia pergi bukan karena menyelamatkan keluarga yang terlilit utang. Dan orang yang akan kunikahi juga belum pernah menikah. Kalau Tuajinus tampan, mendekati wajah pangeran saja kukira aku takkan sesedih ini. Wajahnya hampir sama dengan paras Datuk Maringgih, bedanya Tuajinus belum setua si Datuk tersebut.

Pikiranku jadi kusut. Aku membayangkan masalah-masalah sulit yang akan menghampiriku nanti. Pasti teman-temanku akan menertawakanku bersanding dengannya dan jika aku hamil nanti, aku takut melahirkan. Bukankah begitu banyak berita mengenai kematian ibu-ibu muda yang sedang melahirkan. Ah barangkali pikiranku terlalu jauh ngelantur. Dan apakah aku akan bahagia dengannya? Aku resah, bingung dan ingin mati saja. Ada rasa penyesalan menyelinap di hatiku, menyesal dilahirkan ke dunia Sitinurbaya yang bertopengkan reformasi ini.

“Pa beri Iras waktu untuk memikirkannya. Iras tak bisa memutuskannya sekarang. Inikan demi masa depanku.” Elakku mencoba mengulur waktu.

“Nak…tak ada waktu lagi untuk berpikir. Bapak bisa pergi kapan saja, mengertilah! Jangan kecewakan Bapak untuk yang terakhir kalinya!” Air muka Bapak berobah sedih dan bola matanya mulai berkaca-kaca.

Ternyata aku tak punya pilihan lain sama seperti kisah Sitinurbaya juga, dihalau menuju jalan berbatu yang tak berujung dan asing, penuh dengan berbagai rintangan yang tidak pasti. Mengapa aku berobah menjadi Sitinurbaya yang malang, apakah ini yang dinamakan suratan takdir?

Baiklah Pa…” Kataku lemah, pasrah pada takdirku. Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Malam itu kami bertiga larut dalam tangis yang maknanya berbeda-beda. Bapak menangis karena senang melihatku setuju dengan keinginannya, sedangkan aku menangis karna ketidakpastian, dan mungkin tangis ibu berada diantara kedua makna itu.

***

Hari yang ditunggu-tunggu orangtuaku tiba, hari pernikahanku dengan Tuajinus. Hari kebahagiaan Bapakku yang kurasakan sebagai akhir dari kebahagianku, hari terakhir bersama orangtua yang kusayangi. Aku merasakan bahwa hari itulah hari pembuanganku secara resmi secara adat, yang dihadiri dan disaksikan banyak orang, termasuk teman-teman sekelasku. Kemana wajahku ini akan kusembunyikan? Mamapukah make-up ini menyembunyikan muka hatiku yang resah dan gundah.

Mereka mendandaniku dengan pakaian yang aneh, seolah aku ini hanyalah suatu barang yang dihias sebelum dijual ke pasar. Pasar yang hanya ada seorang pembeli yakni Tuajinus. Para pengunjung pasar yang lain hanyalah sebagai saksi bahwa aku sudah resmi terjual dan tidak bisa berkutik lagi. Make-upku tak mampu menyembunyikan perasahan resah bercampur malu di hatiku. Aku tak kuat menjalani prosesi pembuangan ini, aku mulai pecah berantakan.

Acara pemberkatan di Gereja mulai berjalan. Kami bertiga bersama Pendeta berdiri di depan altar dan para sanak keluarga juga berdiri di banku jemaat. Prosesinya berjalan terlalu hening membuatku takut, Tuhan rasanya jauh meninggalkanku. Sekilas kulihat ke dua orangtuaku, Bapak tersenyum duduk di kursi rodanya didampingi ibu yang juga tersenyum. Mungkin mereka sudah puas dan bahagia sekarang.

Ketika Pendeta memberkati dan meresmikan pernikahan kami, entah datangnya dari mana dua kucing berlarian masuk dengan suara berisik memecah kesunyian. Kemudian keduanya naik ke meja altar dan mulai cakar-cakaran, dengan suara geraman dan tangisan yang memilukan. Melihat itu semua yang menyaksikannya bertanya-tanya heran. Kulihat Bapak dan Ibu mulai meneteskan air mata, apa mereka jadi takut kini? Apa mereka menyesal telah menjualku semuda ini? Aku tak sampai hati melihat orang tuaku yang kepayahan larut dalam tangis dan aku pun tak kuat lagi membendung air mataku. Apa kedua kucing yang cakar-cakaran itu ramalan masa depan kami? Lama kedua kucing itu berhasil dihalau keluar dari prosesi itu.

Tapi aku tak punya pilihan lain. Tak mungkin mundur setelah melangkah sejauh ini membatalkan pernikahan. Aku pasrah pada kesulitan yang mungkin menunggu di depan sana. Semuanya demi Bapakku yang kapanpun bisa meninggalkanku dan demi kedamaiannya di alam lain aku merelakan kebahagiaan masa mudaku sendiri terbang bersama semilir angin. Acara-acara selanjutnya dengan semua tetek bengeknya berjalan tanpa sentuhan hatiku.

* * * * *

Deliserdang, Mei 2007


Tidak ada komentar: